Reporter: Adi Wikanto, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Upaya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mendongkrak pendapatan negara Rp 4 triliun dari perluasan tarif serta batasan barang mewah yang terkena pajak penjualan barang mewah (PPnBM) properti masih terganjal. Meski kebijakan ini masuk program prioritas, revisi aturan ini masih mentok. "Masih terjadi tarik menarik antara pengusaha properti dengan kami," tandas Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, akhir pekan lalu.
Pengembang properti tak setuju dengan hitungan PPnBM atas properti seperti rumah mewah, apartemen serta kondominium versi pemerintah. Bahwa PPnBM dihitung dari nilai (value) atawa harga jual properti. Mereka mau, hitungan PPnBM tetapseperti saat ini yakni berdasarkan luas bangunan.
Tapi, pemerintah beralasan, hitungan dengan harga sebagai acuan adalah hitungan tepat. Jika hitungan PPnBM berdasarkan luas bangunan, "Hunian mewah dengan luas di bawah batas pajak bisa tergolong properti mewah karena terletak di lokasi strategis," imbuh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara.
Saat ini, kata Suahasil, pemerintah dan pengusaha masih terus berunding agar bisa mencapai kata sepakat. Namun, sebelumnya, pemerintah berniat merevisi Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK.011/2013, tentang Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, selain kendaraan bermotor yang dikenai atas PPnBM, berikut SE Pajak no 45/2014.
Dalam aturan itu, pemerintah mengenakan PPnBM sebesar 20% untuk apartemen, kondominium, town house jenis strata title jika memiliki luas bangunan 150 meter persegi (m²) atau lebih dan rumah dan town house non-strata title dengan luas bangunan 350 m² atau lebih.
Usulan revisi: PPnBM untuk rumah dengan harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 (m²). PPnBM apartemen dan kondominium dengan harga atau pengalihan lebih dari Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 m².
Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi Real Estate Indonesia Theresia V. Rustandi bilang, hitungan berdasarkan harga menyulitkan. Sebab, "Harga properti di tiap wilayah beda," ujar dia. Harga rumah atau apartemen Rp 2 miliar tak lagi mewah untuk kota besar seperti Jakarta.
Menurutnya, jika pemerintah masih bersikukuh dengan usulannya, industri properti akan terkena pukulan berat di tengah pelambatan ekonomi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Mekar Satria Utama, menegaskan, revisi ini jadi prioritas pajak saat ini.
Pengenaan PPnBM atas Penyerahan Hunian Mewah
1. Hunian mewah yang merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
a Rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih, yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009.
b Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih, yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009.
2. Luas bangunan hunian mewah digunakan sebagai dasar untuk menentukan batasan suatu hunian (rumah, town house, apartemen, kondominium, dan sejenisnya) tergolong sebagai Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Pembedaan penggolongan hunian mewah antara rumah atau town house dari jenis non-strata title dengan apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dilakukan mengingat perbedaan karakteristik hunian-hunian mewah tersebut.
Sumber: Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2014.
Tarik Menarik Rencana Revisi
- Pemerintah menginginkan acuan perhitungan berubah dari luas bangunan digantikan dengan mengacu pada harga. Ini akan menguntungkan pemerintah karena akan menambah penerimaan PPnBM dari sektor properti.
- Pengembang ingin PPnBM tetap mengacu pada luas bangunan. Alasanya, acuan luas bangunan lebih tepat dan tidak bias karena harga properti di setiap daerah berbeda-beda, tergantung letak strategisnya.
Sumber: Pemberitaan KONTAN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News