Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan pesat ekonomi digital harus diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Dengan catatan, pemerintah perlu bersifat fleksibel.
Sebab kata Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri, pemerintah tak bisa kaku menghadapi, ekonomi digital yang justru bergerak cepat.
"Birokrasi paling takut kalau di-disrupsi, karena pola pikirnya agree on rule, harus sesuai SOP, aturan, itu cara berpikir birokrasi," kata Chatib dalan Diskusi Seminar Disrupsi: Peluang dan Tantangan di Jakarta Senin (5/2).
Alih-alih berprinsip agree on rule, kata Chatib pemerintah harusnya berprinsip agree on principle. Hanya hal-hal penting saja yang perlu diatur pemerintah. Tak perlu seluruhnya.
"Pemerintah harusnya atur saja soal perlindungan konsumen, Non Performing Loan (NPL), dan soal level playing field yang setara," sambung Chatib.
Ia mencontohkan, saat ini banyak perusahaan rintisan teknologi finansial yang tak membutuhkan tatap muka. Calon nasabah hanya perlu swafoto, dan kartu identitas yang dikirim secara digital.
Hal tersebut tentu akan bikin pemerintah was-was, kata Chatib. Lantaran pengawasan, verifikasi dianggap minim. Padahal teknologi bisa mengakomodasinya.
"Ada satu perusahaan Fintech yang sayau tahu, dimana nasabah kalau pinjam uang cukup selfie dan kirim foto KTP. Nah dari foto selfie sana bisa melalui alogaritma di media sosial dia bisa dinilai berapa yang bisa dia bayar. Karena dia bisa tau perilaku nasabah, apa yang sering diobrolkan, apa ketertarikannya," jelas Chatib.
Modal data profil yang dikumpulkan oleh perusahaan fintech ini yang dikatakan Chatib jadi modal besar. Ia ke depan bahkan memprediksi tiga industri yaitu perbankan, fintech, dan teknologi akan berperan besar atas ekonomi digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News