kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.205   -50,00   -0,33%
  • IDX 7.776   32,73   0,42%
  • KOMPAS100 1.211   18,46   1,55%
  • LQ45 985   12,06   1,24%
  • ISSI 229   2,52   1,11%
  • IDX30 504   7,40   1,49%
  • IDXHIDIV20 609   9,30   1,55%
  • IDX80 138   1,54   1,13%
  • IDXV30 142   0,84   0,59%
  • IDXQ30 169   2,23   1,34%

Pemerintah dapat galian PPN baru dari batubara, ini prospeknya hingga akhir tahun


Sabtu, 26 Juni 2021 / 07:30 WIB
Pemerintah dapat galian PPN baru dari batubara, ini prospeknya hingga akhir tahun


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kini mempunyai sumber penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) baru, yakni berasal dari batubara. Dalam kurung waktu lima bulan, setoran PPN dari komoditas andalan Indonesia tersebut bahkan sudah tembus hampir setengah triliun.

Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan realisasi penerimaan PPN dari batubara mencapai Rp 439,47 miliar di sepanjang Januari-Mei 2021. Secara rata-rata, setorannya mencapai Rp 87,89 miliar per bulan.

Angka tersebut melonjak tajam dibandingkan realisasi pada bulan November 2020 lalu sebesar Rp 48,29 miliar. Perlu diketahui, sebelum Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, komoditas batubara merupakan salah satu yang tidak tergolong sebagai Barang Kena Pajak (BKP).

Namun demikian, sejak UU Cipta Kerja berlaku, mulai tanggal 2 November 2020, batubara menjadi BKP dan atas penyerahannya dikenakan PPN.

Baca Juga: Kenaikan harga batubara diproyeksi tidak akan bertahan lama

Adapun pemerintah menyampaikan, realisasi penerimaan PPN batubara itu terjadi akibat tren kenaikan Harga Batubara Acuan (HBA) dalam beberapa bulan lalu.

Sebagai gambaran, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan HBA pada bulan Mei 2021 mencapai US$ 89,74 per ton, naik cukup signifikan jika dibandingkan HBA pada bulan November 2020 senilai US$ 55,71 per ton.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinada mengatakan kemungkinan besar HBA akan melonjak paling tidak hingga Juli mendatang. Pasalnya HBA per Juni 2021 mencapai US$  100,33 per ton, melonjak 11,8% secara bulanan.

Alhasil, tren positif tersebut akan mendorong setoran PPN dari batubara. Namun, Hendra bilang HBA pada Agustus-Desember 2021 masih dibayang-bayangi oleh pemulihan ekonomi dalam dan luar negeri. Baik dari sisi supply maupun demand.

Menurutnya, supply batubara China akan mempengaruhi HBA. Masalahnya produksi batubara akan tergantung dari kondisi cuaca. Bila musim dingin/hujan maka produksinya akan menurun, sedangkan bila cuaca cerah produksinya meningkat.

Belum lagi, sentiment perdagangan negara-negara tekait batubara dengan Australia. Meski demikian produksi batubara dalam negeri diyakini Hendra masih akan berjalan normal di tahun ini. Sekalipun ada pembatasan sosial berskala besar, namun dampak ke supply batubara tidak akan berpengaruh.

“Masalahnya kita ga tau gimana demandnya dari dalam negeri. Misalnya pabrik-pabrik tekstil di Kerawang kalau sampai mengurangi produksinya maka akan berdampak terhadap demand batubara karena penggunaan listrik di industrinya kan berkurang,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Jumat (25/6).

Baca Juga: 13 Sektor industri minta gas murah, SKK: Perlu dipertimbangkan kemapanan industrinya

Dengan tren harga batubara yang masih moncer tersebut, Kepala Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho optimistis penerimaan PPN dari batubara bisa mencapai minimal Rp 1 triliun hingga akhir tahun 2021.

Menurutnya proyeksi tersebut sangat memungkinkan, mengingat pemulihan ekonomi global yang lebih cepat dari perkiraan. Sehingga demand batubara beserta harga kian meningkat.

 “Untuk batubara, faktor utamanya adalah pemulihan ekonomi China dan India. India sehabis kenaikan Covid-19 yang luar biasa di awal tahun, recovery-nya cepat. Menurut saya tren harga batubara akan naik, mengikuti tren harga minyak,” kata Luthfi kepada Kontan.co.id, Jumat (25/6).

Di sisi lain, pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap produk pertambangan lainnya selain batubara. Usulan tersebut sebagaimana dalam perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Lebih lanjut rancangan beleid tersebut telah menghapus hasil pertambangan sebagai objek non-barang kena pajak (BKP) sebagaimana Pasal 4A ayat 3 butir g UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Jasa Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Adapun hasil pertambangan yang dimaksud antara lain, pertama minyak mentah atau crude oil. Kedua, gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Baca Juga: Jadi sumber penerimaan PPN baru, batubara menyumbang hampir setengah triliun

Ketiga, panas bumi. Kempat asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.

Kelima batubara sebelum diproses menjadi briket batubara. Keenam, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Luthfi menilai, rencana ekstensifikasi objek PPN tersebut, dapat meningkatkan penerimaan PPN dalam negeri di tahun-tahun mendatang. Minimal sesuai dengan target APBN di tahun bersangkutan.

“Karena konon nanti disetiap value chainnya akan dikenakan PPN potensi PPN-nya bisa bagus sekali,” ujar Luthfi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Sapton menyarankan, agar tarif PPN untuk barang hasil pertambangan dikenakan tarif normal seperti batubara.

Baca Juga: Menteri ESDM: Hilirisasi minerba berjalan sesuai rencana

Sejalan dengan perubahan kelima UU 6/1983, tarif PPN bakal naik dari 10% menjadi 12%. Usulan tarif baru tersebutlah yang dianggap Prianto pas dibanderol.

“Tidak ada masalah bagi WP terkait, karena diharapkan yang sudah punya IUP ini para perusahaan pertambangan bisa ekspor hasil tambangnya. Bahkan di UU Minerba bisa integrasi diolah kembali, jadi di sisi lain ada ruang nilai tambah bagi perusahaan terkait,” kata Prianto.

Kendati demikian, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menerka, apabila PPN dari seluruh hasil pertambangan ditarik, akan mendorong penerimaan pajak, tapi potensinya tak sebesar sektor manufaktur atau agrikultur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP)

[X]
×