Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Agama (Kemenag) RI menggelar rapat koordinasi guna membahas tentang persoalan gratifikasi yang menyangkut praktik pelaksanaan nikah oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
KPK dan Kemenag menyepakati, jika seorang penghulu menerima sesuatu atau pemberian dari pihak yang menikah, maka itu termasuk sebagai penerimaan hadiah atau janji alias gratifikasi.
"Bahwa praktik penerimaan honor, tanda terimakasih, pengganti uang transport dalam pencatatan nikah adalah gratifikasi sebagaimana dalam Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," kata Giri Supradiono, Direktur Gratifikasi KPK.
Lebih lanjut dirinya mengatakan, dari hasil rapat itu disepakati pula bahwa, setiap penerimaan gratifikasi oleh penghulu harus dilaporkan kepada KPK. "Dan untuk memudahkan pelaporan, akan diatur mekanismenya kemudian," tambah dia.
Giri menjelaskan, kondisi penerimaan gratifikasi oleh penghulu biasanya disebabkan oleh keterbatasan anggaran di KUA. Menurut Giri, anggaran operasional di KUA hanya Rp 2 juta per bulan. Pada tahun depan anggaran itu ditambah menjadi Rp 3 juta per bulan.
Namun menurut Giri, besarnya anggaran itu juga belum memenuhi biaya transportasi penghulu karena digunakan untuk operasional kantor. Kemudian tambah Giri, hanya sedikit penghulu yang memiliki alat transportasi melaksanakan tugasnya.
"Pada dasarnya enggak ada sarana dan prasarana penghulu untuk mendatangi pengantin. Inilah yang jadi celah untuk penerimaan gratifikasi," ungkapnya. Oleh karena itu kata Giri, biaya operasional pencatatan di luar kantor dan di luar jam kantor akan dibebankan ke APBN.
"Perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004 paling lambat 2014, sembari menunggu peraturan yang baru, Kemenang akan keluarkan Peraturan Menteri," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News