kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.383.000   -4.000   -0,17%
  • USD/IDR 16.702   47,00   0,28%
  • IDX 8.509   -37,16   -0,43%
  • KOMPAS100 1.173   -6,40   -0,54%
  • LQ45 846   -6,27   -0,74%
  • ISSI 301   -0,86   -0,28%
  • IDX30 436   -3,82   -0,87%
  • IDXHIDIV20 504   -3,85   -0,76%
  • IDX80 132   -0,78   -0,59%
  • IDXV30 138   0,50   0,36%
  • IDXQ30 139   -1,24   -0,89%

Pelonggaran Likuiditas Bisa Dongkrak Ekonomi, Tapi Berisiko Ganggu Stabilitas Moneter


Jumat, 28 November 2025 / 17:23 WIB
Pelonggaran Likuiditas Bisa Dongkrak Ekonomi, Tapi Berisiko Ganggu Stabilitas Moneter
ILUSTRASI. Pemerintah minta BI kurangi likuiditas Rp1.000 T. Analisis Maybank Indonesia tentang dampak positif ke ekonomi dan risiko stabilitas moneter 2025.KONTAN/Cheppy A. Muchlis/23/04/2025


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya pemerintah yang meminta Bank Indonesia (BI) mengurangi penyerapan likuiditas dari perbankan yang diperkirakan sudah mencapai Rp 1.000 triliun, dinilai dapat memberi efek positif bagi perekonomian, namun juga membawa sejumlah risiko bagi stabilitas moneter.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyebut kebijakan moneter saat ini belum optimal dan masih terlalu ketat, sehingga membatasi efek stimulus fiskal pemerintah yang sudah dilakukan maksimal.

Purbaya menyebut pertumbuhan uang primer (M0) sempat menyentuh level negatif, sehingga ruang gerak ekonomi tertekan.

Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai pengurangan operasi moneter BI termasuk lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) maupun Floating Rate Note (FRN), pada dasarnya sah-sah saja dilakukan jika bertujuan mendorong likuiditas mengalir ke sektor riil. Namun, langkah tersebut tetap harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Baca Juga: Kemendikdasmen Akan Menambah 150.000 Beasiswa D4/S1 Program RPL Guru

Menurut Myrdal, jika BI mengurangi penyerapan likuiditas, uang yang selama ini parkir di instrumen moneter BI berpotensi kembali beredar di sistem keuangan dan sektor riil. Hal ini dapat meningkatkan uang primer (M0) dan mendorong aktivitas ekonomi.

“Jika likuiditas tidak tersimpan di BI dan bisa beredar di sektor-sektor ekonomi, itu bisa menjadi penggerak ekonomi agar tumbuh optimal,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (28/11/2025).

Myrdal juga menilai kebijakan pelonggaran likuiditas dapat membantu menurunkan suku bunga pendanaan (funding rate), yang pada akhirnya menurunkan suku bunga kredit dan mendorong konsumsi maupun ekspansi bisnis.

Stabilitas Rupiah dan Operasional BI Bisa Terganggu

Namun, Myrdal mengingatkan bahwa BI tetap memerlukan likuiditas untuk berbagai kebutuhan operasional moneter, termasuk pembayaran imbal hasil instrumen SRBI, SVBI, maupun rollover instrumen lainnya.

“Kalau BI kekurangan likuiditas, operasional internal mereka bisa terganggu. Jangan sampai kemampuan BI untuk memenuhi kewajiban imbal hasil menjadi tersendat,” kata Myrdal.

Selain itu, pengurangan penerbitan instrumen moneter juga berpotensi menekan stabilitas nilai tukar, terutama bila kondisi eksternal sedang rentan dan aliran dana asing belum stabil.

Asal tahu saja, stabilitas rupiah juga sangat dipengaruhi neraca perdagangan dan posisi transaksi berjalan (current account). Jika keduanya tidak dalam posisi surplus, risiko terhadap rupiah semakin besar.

Karena menyangkut stabilitas moneter dan kebutuhan fiskal, Myrdal menekankan bahwa langkah ini hanya dapat berjalan efektif bila pemerintah dan BI memiliki koordinasi yang kuat terkait tujuan masing-masing.

“Kalau Kemenkeu butuh likuiditas untuk mendorong ekonomi, dan BI butuh likuiditas untuk operasional moneter, koordinasinya harus sangat baik agar M0 bisa naik tanpa mengganggu operasional BI,” ujarnya.

Myrdal menilai, selain mengurangi operasi moneter, ada beberapa kebijakan lain yang dapat menopang pemulihan ekonomi, ada tiga langkah utama yang dapat dilakukan BI agar transmisi kebijakan fiskal pemerintah dengan kebijakan moneter berjalan lebih optimal.

Pertama, BI perlu menurunkan BI Rate. Myrdal menilai ruang penurunan suku bunga acuan BI Rate sebenarnya masih terbuka lebar. Pasalnya, tingkat suku bunga saat ini dinilai masih berada di atas inflasi, baik inflasi umum maupun inflasi inti setidaknya 50 basis poin.

“Selama BI rate berada 50 bps di atas tingkat inflasi, kebijakan moneternya masih aman,” ujarnya.

Baca Juga: Optimalkan Penerimaan Pajak, Ditjen Pajak Gandeng 1.800 Pelaku Usaha Tambang

Ia menekankan, penurunan BI rate tidak akan serta-merta menghilangkan daya tarik aset investasi Indonesia, selama beberapa indikator makro tetap kuat, seperti current account surplus atau surplus neraca dagang, hingga cadangan devisa memadai, minimal mampu membiayai impor dan pembayaran bunga utang selama 6 bulan 2 pekan.

Dengan kondisi tersebut, BI masih memiliki ruang untuk melakukan intervensi pasar jika terjadi capital outflow.

Kedua, BI perlu melakukan moral suasion ke industri keuangan. Menurut Myrdal, jika penurunan suku bunga dianggap terlalu agresif, Myrdal mengatakan BI perlu mengimbangi dengan moral suasion kepada industri keuangan, baik bank maupun non-bank.

Tujuannya agar penurunan BI rate benar-benar diikuti penurunan suku bunga kredit dan suku bunga dana pihak ketiga (DPK), sehingga transmisi kebijakan menjadi efektif.

Ketiga, perlu memperbanyak guyuran likuiditas di sistem keuangan dan memastikan likuiditas beredar cukup melimpah, yang tercermin dari kenaikan jumlah uang primer (M0). Menurut Myrdal, melimpahnya likuiditas akan membuat perbankan, terutama bank besar, lebih mudah memenuhi kebutuhan pendanaan tanpa harus menawarkan special rate yang tinggi.

“Kondisi likuiditas yang cukup akan membuat suku bunga funding turun. Dengan begitu, masyarakat cenderung membelanjakan uangnya, bukan menyimpannya di bank,” jelasnya.

Jika konsumsi meningkat, suku bunga kredit pun akan menurun dan mendorong ekspansi bisnis maupun konsumsi rumah tangga.

Keempat, BI perlu menjaga agar selisih antara yield dan BI rate tidak melebar. Myrdal menekankan bahwa apabila BI tetap melakukan aksi penyerapan likuiditas melalui instrumen moneter, maka penetapan yield harus dilakukan secara hati-hati.

Ia menilai gap atau selisih antara yield instrumen moneter BI dengan BI rate sebaiknya tidak lebih dari 35 basis poin, sehingga tidak menciptakan suku bunga yang terlalu mahal di sistem keuangan.

“Jika gap yield terlalu lebar, penyerapan likuiditas justru berpotensi membuat biaya dana di perbankan semakin tinggi,” ujarnya. 

Dengan menjaga gap tersebut, kebijakan moneter tetap dapat berjalan tanpa mengganggu transmisi penurunan suku bunga ke sektor riil.

Selanjutnya: Baidu PHK Besar-besaran di Tengah Persaingan AI dan Penurunan Pendapatan Iklan

Menarik Dibaca: 5 Ide Penyimpanan Tersembunyi di Ruang Tamu agar Rumah Selalu Rapi dan Nyaman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×