Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
Rektor Unika Atmajaya Jakarta Prasetyantoko menilai, keberlangsungan defisit APBN akan dipengaruhi oleh kondisi pandemi virus corona yang berdampak terhadap aktivitas masyarakat hingga pertumbuhan ekonomi. Namun, menurutnya, stimulus fiskal pada 2022 harus ditekan dengan tiga carat timely, temporary, dan targeted.
Prasetyantoko mengatakan, pemerintah harus mempunyai exit strategy berupa skenario fiskal terkait pengurangan stimulus. Tetapi, stimulus baru bisa dikurangai jika momentum pemulihan ekonomi sudah solid. Dus bila skenario itu terjadi, peran fiskal akan tergantikan oleh konsumsi, investasi, dan aktivitas ekspor.
“Jadi indikator pengurangan stimulus adalah jika pertumbuhan 2021 di atas 4,5%, stimulus berpotensi dikurangi. Barulah defisit bisa dikembalikan pada level 3% terhadap PDB,” kata Prasetyantoko saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Kamis (8/4).
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menambahkan pemerintah harus benar-benar komitmen meenekan defisit fiskal, dengan mengurangi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021. Sebab, alih-alih berkurang, anggaran PEN 2021 mencapai Rp 699,43 triliun yang justru membengkak 21% dari pagu PEN 2020.
Tauhid memprediksi, implikasi dari beban APBN tahun ini menyebabkan ratio utang pemerintah mencapai 41,05% terhadap PDB di tahun ini. Meskipun masih di bawah ambang batas 60%, tapi Tauhid bilang jika dikalkulasikan dengan utang swasta maka beban utang Indonesia sebetulnya makin buruk.
Di sisi lain, risiko adanya stimulus akibat pandemi seperti insetif perpajakan, akan membuat proses peningkatan pendapatan negara berjalan lebih lambat. Sehingga, dampaknya kebutuhan akan utang masih berpotensi naik.
Alhasil, jika tren tersebut berlanjut, Tauhid memprediksi, defisit APBN pada 2022 berada di rentang 4,6% hingga 5,47% terhadap PDB. Hal ini semakin memperberat amanat defisit sebesar 3% di tahun 2023.
Tauhid menyarankan agar level defisit bisa on track dengan outlook pemerintah, maka fungsi relaksasi perpajakan harus dikembalikan sesuai dengan perkembangan perekonomian terkini. Selain itu, basis pajak perlu diperkuat, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Terutama pada sektor yang pulih cepat seperti telekomunikasi, industri, dan jasa kesehatan.
“Selain itu melalui ekstensifikasi sumber-sumber pajak baru, khususnya terkait dengan pajak digital, cukai, dan sebagainya. Kemudian optimalisasi PNBP berbasis migas dan nonmigas, termasuk tata cara pengelolaan PNBP,” ujar Tauhid saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Kamis (8/4).
Selanjutnya: Pemulihan ekonomi bisa lebih cepat berkat sinergi yang kuat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News