Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akibat dampak virus corona yang telah berlangsung tahun lalu, pemerintah mempunyai ruang fiskal untuk memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di atas 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam tiga tahun. Namun, situasi pandemi termasuk stimulus ekonomi yang digelontorkan akan memengaruhi daya tahan fiskal.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 terkait respons pemerintah menanggulangi dampak pandemi dan keuangan akibat pandemi, pada 2023 defisit APBN harus berada di bawah 3% terhadap PDB.
Sebagai catatan, tahun 2020 realisasi defisit APBN sebesar 6,09% dari PDB. Sementara pada 2021, ditargetkan sebesar 5,7% terhadap PDB. Perkembangannya, hingga akhir Februari 2021 lalu, defisit anggaran mencapai 0,36% dari PDB atau setara Rp 63,6 triliun.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyoroti pengelolaan utang negara-negara dengan ruang fiskal terbatas. Dalam laporan bertajuk World Economic Outlook, Managing Divergent Recoveries edisi April 2021, IMF menilai, pengeluaran yang luar biasa akibat pandemi Covid-19, perlu diimbangi keberlanjutan pengelolaan utang dan menjaga kredibilitas kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
Baca Juga: Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 diprediksi masih negatif, bangkit di kuartal II
"Sampai pandemi berakhir, kebijakan fiskal harus tetap mendukung. Tentu ruang fiskal di beberapa negara menjadi terbatas. Dalam kasus seperti ini, pengeluaran yang luar biasa perlu diimbangi keberlanjutan utang yang kredibel," terang IMF dalam laporan tersebut.
Kendati begitu, bagi negara-negara dengan ruang fiskal yang cukup lebar, kebijakan fiskal harus terus berlanjut. Misalnya, bantuan sosial termasuk bantuan langsung tunai untuk rumah tanggga yang terdampak corona, program bantuan furlough (cuti kerja) bagi sektor bisnis.
Namun, "Program semacam itu harus dikalibrasi dengan baik dan secara bertahap dihapuskan seiring dengan adanya kenaikan permintaan," tambah IMF.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, konsolidasi fiskal untuk mencapai defisit APBN di bawah 3% akan dilakukan secara bertahap. Menurutnya, reformasi holistic menjadi kunci untuk mengembalikan defisit anggaran sesuai dengan UU Keuangan Negara.
Febrio membeberkan ada empat strategi yang akan diterapkan pemerintah untuk mencapai konsolidasi fiskal. Pertama, meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi. Pemerintah akan terus menggali potensi dan memperluas basis perpajakan, serta menyesuaikan sistem perpajakan dengan struktur perekonomian.
Peningkatan pendapatan negara juga akan dilakukan melalui optimalisasi pengelolaan aset dan inovasi layanan, serta penguatan tata kelola dan kebijakan melalui implementasi peraturan pelaksanaan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kedua, meningkatkan kualitas belanja melalui efisiensi belanja kebutuhan dasar, fokus pada program prioritas, berorientasi pada hasil, serta transformasi subsidi ke bansos. Pemerintah juga akan meningkatkan efektivitas perlindungan sosial melalui akurasi data dan integrasi atau sinergi program, pengontrolan kualitas transfer ke daerah dan dana desa, serta kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) yang lebih masif.
Ketiga, pengelolaan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Pemerintah akan mendorong inovasi pembiayaan, pendalaman pasar, serta penguatan peran lembaga pengelola investasi dan special mission vehicle (SMF). Kata Febrio pemerintah akan menjadikan utang sebagai instrumen countercyclical yang lebih kuat, tetapi tetap dikelola secara prudent, serta mendorong efektivitas pembiayaan investasi.
Keempat, memastikan cadangan fiskal pemerintah handal dan efisien. Dalam hal ini, pemerintah akan mensinkronkan waktu penerbitan surat berharga negara (SBN) dengan posisi kas dan menjaga batas efisien cadangan fiskal yang aman.
Selain itu, Kementerian Keuangan akan mendorong manajemen kas yang fleksibel dan terkoneksi dengan pasar keuangan, serta meminimalisasi dana menganggur sambil menjaga likuiditas untuk menopang kebutuhan prioritas. "Pengelolaan itu menjadi modal besar yang menghasilkan ruang fiskal di tengah pandemi," kata Febrio dalam Webminar Indonesia Macroeconomic Update 2021, Kamis (8/4).
Baca Juga: Sri Mulyani sebut Indonesia semakin tunjukkan sinyal pemulihan
Rektor Unika Atmajaya Jakarta Prasetyantoko menilai, keberlangsungan defisit APBN akan dipengaruhi oleh kondisi pandemi virus corona yang berdampak terhadap aktivitas masyarakat hingga pertumbuhan ekonomi. Namun, menurutnya, stimulus fiskal pada 2022 harus ditekan dengan tiga carat timely, temporary, dan targeted.
Prasetyantoko mengatakan, pemerintah harus mempunyai exit strategy berupa skenario fiskal terkait pengurangan stimulus. Tetapi, stimulus baru bisa dikurangai jika momentum pemulihan ekonomi sudah solid. Dus bila skenario itu terjadi, peran fiskal akan tergantikan oleh konsumsi, investasi, dan aktivitas ekspor.
“Jadi indikator pengurangan stimulus adalah jika pertumbuhan 2021 di atas 4,5%, stimulus berpotensi dikurangi. Barulah defisit bisa dikembalikan pada level 3% terhadap PDB,” kata Prasetyantoko saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Kamis (8/4).
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menambahkan pemerintah harus benar-benar komitmen meenekan defisit fiskal, dengan mengurangi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021. Sebab, alih-alih berkurang, anggaran PEN 2021 mencapai Rp 699,43 triliun yang justru membengkak 21% dari pagu PEN 2020.
Tauhid memprediksi, implikasi dari beban APBN tahun ini menyebabkan ratio utang pemerintah mencapai 41,05% terhadap PDB di tahun ini. Meskipun masih di bawah ambang batas 60%, tapi Tauhid bilang jika dikalkulasikan dengan utang swasta maka beban utang Indonesia sebetulnya makin buruk.
Di sisi lain, risiko adanya stimulus akibat pandemi seperti insetif perpajakan, akan membuat proses peningkatan pendapatan negara berjalan lebih lambat. Sehingga, dampaknya kebutuhan akan utang masih berpotensi naik.
Alhasil, jika tren tersebut berlanjut, Tauhid memprediksi, defisit APBN pada 2022 berada di rentang 4,6% hingga 5,47% terhadap PDB. Hal ini semakin memperberat amanat defisit sebesar 3% di tahun 2023.
Tauhid menyarankan agar level defisit bisa on track dengan outlook pemerintah, maka fungsi relaksasi perpajakan harus dikembalikan sesuai dengan perkembangan perekonomian terkini. Selain itu, basis pajak perlu diperkuat, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Terutama pada sektor yang pulih cepat seperti telekomunikasi, industri, dan jasa kesehatan.
“Selain itu melalui ekstensifikasi sumber-sumber pajak baru, khususnya terkait dengan pajak digital, cukai, dan sebagainya. Kemudian optimalisasi PNBP berbasis migas dan nonmigas, termasuk tata cara pengelolaan PNBP,” ujar Tauhid saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Kamis (8/4).
Selanjutnya: Pemulihan ekonomi bisa lebih cepat berkat sinergi yang kuat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News