Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Perppu ini diterbitkan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konsititusi (MK) dan untuk mengantisipasi keadaan global pada tahun 2023.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, terbitnya Perppu Cipta Kerja menunjukkan bentuk sakitnya politik ketatanegaraan Indonesia.
Sebab, sudah jelas dalam putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan untuk memperbaiki undang undang dan bukan mengeluarkan Perppu. Apalagi Perppu itu juga disebutkan karena hal ihwal kegentingan memaksa.
Baca Juga: Resmi, Jokowi Terbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Gantikan UU Cipta Kerja, Ini Isinya
“Dalam putusan MK tidak tergambar ada hal ihwal kegentingan memaksa sehingga mereka memerintahkan diperbaiki 2 tahun,” ujar Feri saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (30/12).
Feri menilai, terbitnya Perppu merupakan langkah pemerintah untuk menghindar dari tanggungjawab memperbaiki undang undang tersebut. Karena waktu masa perbaikan akan mencapai tenggat waktu pada tahun depan. Pemerintah tidak ingin undang undang tersebut dibatalkan dan menggunakan celah untuk kemudian memaksakan lahirnya Perppu.
Feri menyebut, langkah yang diambil pemerintah merupakan pembodohan terhadap publik dan langkah inkonstitusional yang ngawur. Meski diterbitkan dalam bentuk Perppu, Feri mengatakan, Perppu Cipta Kerja tetap bisa digugat oleh pihak-pihak yang merasa kurang puas atas terbitnya Perppu tersebut.
“Bisa digugat pembentukan Perppu nya dan materi muatannya di Mahkamah Konstitusi. Juga bisa di-TUN (tata usaha negara) kan tindakan pemerintah yang abai terhadap administrasi yang benar dalam pembentukan undang undang ataupun perppu,” ucap Feri.
Baca Juga: Tindaklanjuti Putusan MK, Pemerintah Terbitkan Perppu UU Cipta Kerja
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai penerbitan Perppu jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI. Hal ini juga merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
Terbitnya Perppu semakin menunjukkan bahwa presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.
Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi.
YLBHI menyatakan, penerbitan Perppu jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perppu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
Baca Juga: UU Cipta Kerja jadi harapan pemulihan ekonomi nasional 2021
Sebab, perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan Perppu. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan Perppu.
Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.
“Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” ujar Isnur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News