Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengidentifikasi terdapat 82 Undang-Undang (UU) yang terdiri dari 1.194 pasal yang akan diselaraskan melalui Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Draf final RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja beserta naskah akademisnya dijadwalkan disampaikan ke DPR RI pada awal Januari 2020 untuk dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baca Juga: Dilema Omnibus Law Perpajakan, bakal kikis penerimaan pajak
Namun Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyayangkan minimnya pembahasan dan koordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) sepanjang persiapan aturan sapu jagat tersebut.
Tanpa koordinasi dan sinkronisasi dengan pemda, ia khawatir nasib omnibus law berujung sama dengan kegagalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang penerapan Online Single Submission (OSS) secara nasional.
“Semangat omnibus law ini memang untuk membenahi dan menata regulasi perizinan pada tingkat ‘hulu’, tapi kan izin tidak hanya diatur dengan UU. Masih ada lagi PP di bawahnya, lalu ribuan peraturan menteri yang berbeda, juga peraturan daerah. Fragmentasi peraturan pusat mengalir menjadi fragmentasi di level pemerintah daerah,” tutur Robert dalam diskusi media Refleksi Otonomi 2019 dan Arah Perbaikan ke Depan, Minggu (15/12).
Oleh karena itu, menurutnya efektivitas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menuntut adanya pembenahan regulasi perizinan dari level UU hingga peraturan daerah.
Baca Juga: Aturan Sapu Jagat Pajak Segera Dituntaskan
Apalagi, praktik aktual perizinan pada dasarnya terjadi di daerah sehingga peraturan di level daerah sejatinya lebih berdampak langsung pada masyarakat, pelaku usaha, dan investor.
Robert memandang, perumusan omnibus law dalam waktu yang relatif singkat ini cenderung sepihak pada pemerintah pusat saja. Risikonya, banyak regulasi dan aturan perizinan di tingkat daerah yang luput dari reformasi.