Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – TABANAN. Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Kementerian Keuangan mengungkapkan sejumlah tantangan besar yang tengah membelit industri pengolahan kakao nasional.
Mulai dari penutupan pabrik, tingginya biaya produksi akibat ketergantungan bahan baku impor, hingga hambatan teknis dalam program peremajaan (replanting) kakao.
Kepala Divisi Umum BPDP, Adi Sucipto, menjelaskan bahwa jumlah pabrik pengolahan kakao di Indonesia menyusut signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Produksi Kakao Merosot, BPDP Kemenkeu Siapkan Dukungan Penuh untuk Program Peremajaan
Mengacu pada data Direktorat Jenderal Industri Agro, jumlah pabrik yang sebelumnya mencapai 31 unit kini hanya tersisa sekitar 19–21 pabrik yang masih beroperasi.
“Artisannya banyak, tapi bahan-bahannya impor. Karena pola konsumsi kita yang berbeda,” ujar Adi dalam agenda Kunjungan Kerja Media bertema Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian Nasional di Tabanan, Senin (25/11/2025).
Adi menyebut, dari total tersebut, sekitar 10–11 pabrik telah menutup operasionalnya. Penutupan terjadi karena biaya produksi meningkat tajam saat industri harus mengandalkan bahan baku impor.
“Dulu kita penghasil, bahan-bahannya tersedia, tidak perlu impor. Sekarang kalau harus impor, ya cost of production-nya jadi terlampaui,” jelasnya.
Menurut Adi, kondisi ini lebih berat bagi perusahaan yang hanya memiliki fasilitas pengolahan tanpa kebun.
Baca Juga: Mulai Desember 2025: TNI AD Amankan Industri Kilang Strategis
Sementara itu, pelaku usaha yang memiliki kebun dan pabrik secara terintegrasi relatif lebih kuat karena mengendalikan rantai produksi dari hulu hingga hilir.
Terkait perkembangan program peremajaan kakao, termasuk di Bali, Adi menilai bahwa ketersediaan benih masih jauh dari mencukupi kebutuhan nasional.
“Kalau menurut kami, dengan target yang sekarang, 5.000 itu tidak mencukupi. Kita perlu nursery baru di tempat-tempat lain,” katanya.
Namun demikian, BPDP masih menunggu kepastian regulasi sebelum dapat membiayai pengadaan bibit.
Pasalnya, Peraturan Presiden hanya mengatur dukungan pendanaan untuk peremajaan dan sarana-prasarana, sementara teknis pelaksanaannya berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian.
“Jadi tunggu Permentan dulu. Kalau itu sudah jelas, baru bisa dijalankan. Jangan sampai kita menjalankan program tapi sisi akuntabilitasnya dipertanyakan,” tegas Adi.
Baca Juga: Menhan Ungkap Target 750 Batalion Tempur TNI AD hingga 2029
Ia juga menyoroti tren penurunan kontribusi subsektor perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Berdasarkan data yang dipaparkannya, kontribusi PDB perkebunan turun dari 1,53% pada 2020 menjadi 1,34% pada 2024.
Meski kontribusinya menurun, Adi menegaskan bahwa sektor pertanian dan Perkebunan termasuk kakao tetap menjadi penopang penting perekonomian nasional, terutama dalam menyerap tenaga kerja saat pandemi COVID-19.
“Itu betul-betul menopang pertumbuhan dan juga menyerap tenaga kerja,” ujarnya.
Selanjutnya: IHSG Berpeluang Naik, Ini Rekomendasi Saham BRI Danareksa Sekuritas Selasa (25/11)
Menarik Dibaca: IHSG Berpeluang Naik, Ini Rekomendasi Saham BRI Danareksa Sekuritas Selasa (25/11)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













