kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

OECD: Perketat kebijakan moneter


Rabu, 23 Mei 2012 / 10:10 WIB
OECD: Perketat kebijakan moneter
ILUSTRASI. Satgas Covid-19 menegaskan, aparat kepolisian di pos penyekatan berhak memulangkan masyarakat yang tetap nekat mudik. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/pras.


Reporter: Herlina KD, Syamsul Ashar | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Negara-negara berpenghasilan tinggi yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengingatkan Indonesia untuk bersiap mengetatkan kebijakan moneter mulai tahun ini.

Kebijakan moneter ketat itu guna mengantisipasi lonjakan inflasi. Meski begitu, OECD menilai investasi dan ekspor tetap akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga bisa tumbuh 6% tahun ini.

"Ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dengan pesat, walaupun ada tanda-tanda beberapa negara lain di Asia sudah terkena dampak perlambatan ekonomi, terutama karena perdagangan regional yang melemah," kata organisasi yang berbasis di Paris ini dalam laporannya seperti dikutip Bloomberg, Selasa (22/5).

OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi di negara terbesar di kawasan Asia Tenggara ini bisa tumbuh sekitar 5,8% - 6% pada 2012. "Tingkat konsumsi masyarakat telah tumbuh dan investasi juga melonjak, terutama didorong oleh program investasi besar seperti infrastruktur," tulis mereka.

Selain itu, OECD juga menyoroti upaya Pemerintah Indonesia untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengalami hambatan karena ditolak oleh DPR. Padahal sebelumnya, OECD memperkirakan bakal ada kenaikan harga BBM sebesar 33% pada pertengahan tahun ini untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah internasional.

Risiko inflasi tinggi

Tekanan harga yang mungkin terjadi tahun ini antara lain karena terjadinya kenaikan upah buruh yang tinggi di beberapa provinsi.

OECD menyambut baik langkah BI untuk mengurangi kelebihan likuiditas di pasar, tapi dengan cara menyetop penurunan bunga acuan. Cara ini cukup baik untuk mengurangi tekanan inflasi yang berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. "Kebijakan itu perlu diperketat lagi jika tekanan inflasi muncul," ujar OECD di laporannya.

Organisasi ini menganggap Indonesia sebagai negara yang masih rentan terhadap perubahan di perekonomian global. Risiko terbesarnya adalah arus modal asing tiba-tiba cabut dari negara kita. Kondisi ini bisa berakibat pada pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, kebijakan pemerintah menunda kenaikan harga BBM bisa jadi momok bagi bujet negara.

Ekonom BCA David Sumual sependapat dengan peringatan OECD ini. Inflasi yang tinggi masih menjadi ancaman bagi Indonesia, khususnya dalam beberapa bulan mendatang. Contoh, Juni nanti musim masuk sekolah, lalu pada pertengahan Juli akan datang bulan puasa dan Lebaran pada pertengahan Agustus. Pada kondisi ini secara musiman akan terjadi kenaikan harga pangan.

David melihat, BI telah mengambil ancang-ancang untuk mengetatkan kebijakan moneter. Misalnya, pada awal Mei 2012 ini telah menahan BI Rate di level 5,75%. "Ini sinyal bahwa inflasi akan naik tinggi. Saya melihat BI akan memperketat kebijakan moneter," proyeksi dia.

David juga melihat kenaikan yield obligasi pemerintah bertenor menengah panjang dalam beberapa minggu terakhir sebagai sinyal ekspektasi pasar terhadap inflasi ke depan masih cukup tinggi. "Kalau tekanan inflasinya membesar, BI bisa menaikkan BI Rate," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×