Reporter: Irma Yani | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. PT Mandiri Sekuritas menilai rencana pemerintah melakukan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kurang efektif untuk menekan konsumsi BBM jika dibandingkan dengan kenaikan harga BMM atau penghapusan subsidi BBM.
"Secara ekonomi sebenarnya lebih efisien kalau menaikkan harga daripada melakukan pembatasan subsidi, atau lebih bisa juga itu dengan melakukan pemberian voucher langsung, seperti yang dilakukan di beberapa negara," ucap Director Chief Economist Mandiri Sekuritas Destry Damayanti, Rabu (22/12).
Menurutnya, kenaikan harga akan berlaku untuk semua orang sehingga kemungkinan penyimpangan seperti penyelundupan bisa dihindari. Maka, katanya, kenaikan harga BBM akan lebih adil terhadap masyarakat yang disinyalir tidak tergapai oleh pemerintah.
"Itu akan lebih adil kemudian pemerintah bisa menyubsidi dengan pemberian voucher langsung benar-benar yang butuh subsidi BBM," terangnya.
Destry mengungkapkan, Indonesia memiliki pengalaman dalam kebijakan penyesuaian harga BBM yang bisa diterapkan kembali saat ini. "Waktu itu ada kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), ini efektif, memang akan ada gejolak tetapi hanya akan sesaat," ujarnya.
Ia memaparkan, jika membedakan harga subsidi dan nonsubsidi dan melihat rasionya mendekati 2 kali, biasanya pemerintah akan melakukan adjustment penyesuaian harga. Hal ini terlihat dari pengalaman tahun 2005 yang lalu di mana harga BBM mengalami kenaikan sebesar 28% sedangkan saat harga minyak mengalami penurunan di tengah tahun 2009 maka pemerintah menurunkan rasionya kembali.
Oleh karena itu, Destry berharap pemerintah bisa mengkaji kembali kebijakan harga BBM dalam negeri yang dikaitkan dengan harga minyak dunia. Pasalnya, wacana yang dimundurkan sampai dengan akhir bulan Maret 2011 ini masih alot. "Berkaitan volume subsidi pembatasan subsidi akan dilakukan di kuartal I tapi masih alot belum disepakati bersama kapan pembatasannya," ujarnya.
Ia memprediksikan, harga minyak mentah dunia pada tahun depan akan mengalami tren meningkat, yang mana diasumsikan bisa mencapai US$ 90 per barel berada di atas asumsi pemerintah dalam APBN 2011 yang sebesar US$ 80 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News