Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Yudho Winarto
Menurut Helmy, Indonesia bukan negara agama, tapi negara berlandaskan Pancasila. PBNU, lanjutnya, secara konsisten menolak investasi minuman keras dibebaskan.
“Indonesia bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila yang berketuhanan. Karena itu, berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan semua perilaku masyarakat harus berpedoman dengan nilai-nilai agama,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol, Firman Soebagyo mengatakan diperlukan kehadiran negara dalam mengatur produksi dan distribusi minuman keras di Indonesia.
“Dalam pengaturan itu bisa dibatasi sampai tingkat berapa banyak, jangan dilepas. Tetapi jangan juga dilarang, makanya negara harus mengatur,” kata Firman.
Baca Juga: Ini kata pelaku usaha usai RUU Larangan Minuman Beralkohol masuk prolegnas 2021
Politisi Partai Golkar itu mengatakan, apabila peredaran minuman beralkohol dilarang akan mengakibatkan melonjaknya peredaran minuman ilegal dari luar negeri di Indonesia. Menurutnya, hal itu akan merugikan karena dari sisi tenaga kerja tidak ada penyerapan.
Kemudian, pihaknya juga tidak bisa memantau, serta tidak ada kontribusi ke negara karena perdagangan gelap.
"Pengaturan inilah yang harus dilakukan. Kalau saya berpendapat pengaturan ini bisa dalam UU, bisa juga dalam bentuk Peraturan Menteri. Di sisi lain, minol juga diperlukan untuk kepentingan industri pariwisata dan keagamaan,” jelas Firman.
Ketua Umum DPP Asosiasi Minuman Beralkohol Kearifan Lokal (AMBKL) Audy Lieke mengatakan, pengusaha minol meyakini pemerintah selaku regulator dan DPR akan mengambil kebijakan terbaik berdasarkan ideologi Pancasila.