Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sampai akhir Desember 2022 mengalami peningkatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, negara telah mengantongi PNBP sebesar Rp 588,3 triliun pada periode laporan. Ini setara 122,2% dari target yang tertuang dalam Perpes 98/2022.
"Ini adalah termasuk PNBP tertinggi dalam sejarah PNBP kita," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (3/1).
Sri Mulyani menyampaikan, peningkatan PNBP tersebut didorong oleh kenaikan harga komoditas, terutama pada komoditas batubara. Hanya saja, menurutnya, pemerintah tetap mewaspadai normalisasi harga komoditas yang berpotensi berdampak kepada PNBP.
Baca Juga: Lebih Dari Target, Realisasi PNBP Kemenhub Tahun 2022 Capai Rp 8,9 Triliun
"Inilah yang harus cukup hati-hati karena kenaikan dari komoditas memang diakui memberikan sumbangan penerimaan negara baik pajak maupun non pajak yang luar biasa," ujar Menkeu.
Untuk diketahui, dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2023, target PNBP dipatok sebesar Rp 441,4 triliun. Target tersebut ternyata lebih rendah dari capaian PNBP tahun ini yang tercatat Rp 588,3 triliun.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, target tersebut masih tetap overshoot mengingat adanya moderasi harga komoditas dan tekanan eksternal dari melambatnya perekonomian global.
Oleh karena itu, dengan pertimbangan tersebut, Bhima memperkirakan bahwa PNBP tahun depan sulit untuk mencapai target. "Proyeksinya hanya tercapai di kisaran Rp 380 triliun hingga Rp 400 triliun," ujar Bhima Kontan.co.id , Rabu (4/1).
Baca Juga: Tertinggi Sepanjang Sejarah, Realisasi PNBP 2022 Tembus Rp 588,3 Triliun
Bhima bilang, di tengah moderasi harga komoditas di tahun ini, pemerintah harus memacu dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar bisa menyumbang PNBP lebih besar.
Selain itu, opsi mendorong PNBP juga bisa muncul dari menutup celah pendapatan negara dengan pengawasan under invoicing (praktik manipulasi harga) ekspor pertambangan.
Senada, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan hal yang sama. Ia melihat, PNBP tahun ini berpotensi turun lantaran adanya moderasi harga komoditas. Melihat situasi tersebut, Rifky menyarankan pemerintah untuk terus meningkat penerimaan, namun tidak harus fokus pada PNBP.
"Jadi kalau misalnya kemudian PNBP ini akan menurun, pemerintah perlu menggencarkan penerimaan dari sisi penerimaan pajak. Jadi ini sesuai dengan reformasi perpajakan yang sudah dilakukan pemerintah," ujar Riefky.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Melandai, Harga BBM Subsidi Semestinya Bisa Turun
Riefky berharap, dampak implementasi reformasi perpajakan tersebut akan mulai terlihat dampaknya di tahun ini sehingga bisa menahan atau menimimalisir dampak penurunan PNBP akibat normalisasi harga komoditas.
Sementara itu, Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga memperkirakan penerimaan PNBP tahun ini akan terkontraksi sejalan dengan moderasi harga komoditas.
Pasalnya, penerimaan PNBP di tahun 2022 saja sudah cukup besar, sehingga menurut Fajry, pelemahan harga komoditas akan meningkatkan risiko adanya shortfall penerimaan. Namun, pemerintah telah mengantisipasi risiko shortfall dengan menerapkan target penerimaan PNBP tahun ini yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News