Reporter: Agus Triyono | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak uji materi terhadap Pasal 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No. 42 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang salah satu pokoknya meminta agar ambang batas suara untuk pemilihan presiden dihapus.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Harjono, Mahkamah memandang bahwa dalil gugatan yang menggunakan Pasal 22 E ayat 3 UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional pengusulan capres dan cawapres harus dilakukan sebelum pemilu untuk memilih DPR dan DPRD telah secara substansial dipertimbangkan. Pertimbangan ini dalam permohonan uji materi yang memutus bahwa pelaksanaan pemilu harus dilakukan serentak 23 Januari lalu.
Selain itu, uji materi terhadap ketentuan untuk menjadi presiden dan wakil presiden seorang calon harus diusulkan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR dan 25% dari suara sah nasional dalam pemilu legislatif, Mahkamah memandang penetapan ambang batas tersebut merupakan hak pembuat UU alias DPR.
"Ketentuan a quo (tersebut) merupakan kebijakan hukum terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk uu," kata Harjono di Gedung MK Kamis (20/3).
Catatan saja, uji materi terhadap terhadap Pasal 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No. 42 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra.
Pakar hukum yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Bulan Bintang (PBB) memandang bahwa substansi yang terkandung dalam beberapa pasal dalam uu tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Yusril beralasan, ketentuan yang diatur dalam semua pasal yang diujinya tersebut menghalangis haknya selaku calon presiden yang diusung oleh PBB.
Yusril ketika ditemui usai sidang putusan tersebut menilai bahwa putusan MK terkait uji materi yang diajukannya tersebut janggal. Kejanggalan ini salah satunya, terkait dengan penolakan MK untuk memberi tafsir konstitusional pasal yang diujinya tersebut dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
"Saya tertawa ketika mendengar MK mengatakan, dia tidak berwenang manafsirkan konstitusi sebagaimana saya minta, karena selama ini mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah penafsir uu," katanya.
Yusril khawatir putusan MK terkait uji materi yang diajukannya kali ini ke depannya akan menimbulkan permasalahan konstitusional bagi presiden Indonesia ke depan. Khususnya, setelah beberapa waktu lalu mereka memutuskan agar pemilu dilaksanakan secara serentak.
"MK kemarin itu menyatakan beberapa pasal yang saya uji bertentangan dengan UUD 1945, tidak punya kekuatan hukum, dan baru berlaku 2019. Artinya ketika mereka menolak permohonan saya mereka membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap pasal 6A itu," kata Yusril.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News