Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, DSR bisa diartikan sebagai rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan.
Artinya, dinamika dari DSR tersebut akan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya utang jatuh tempo dan penerimaan transaksi berjalan.
Yusuf bilang, jika mengacu pada utang jatuh tempo, menurutnya akan ada peningkatan dari sekitar Rp 360 triliun menjadi Rp 456 triliun.
Di saat yang bersamaan, dirinya menduga potensi penerimaan dari neraca transaksi berjalan juga mengecil akibat kinerja dari neraca barang yang tidak sebesar tahun 2022.
Baca Juga: Fokus Bisnis Energi Hijau, TOBA Menawarkan Obligasi Senilai Rp 500 Miliar
Ini tidak terlepas dari penyesuaian harga komoditas yang tidak setinggi di tahun lalu dan juga penyesuaian pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor Indonesia seperti China dan Amerika Serikat (AS) yang berpotensi melambat akibat tekanan inflasi dan kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral beberapa negara.
"Kondisi ekonomi global juga masih berpeluang volatilitas di pasar keuangan yang berpotensi mendorong dinamika defisit pada pendapat primer yang muaranya akan berpengaruh ke neraca transaksi berjalan," kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (12/2).
Untuk diketahui, rasio DSR mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang, sehingga apabila rasio DSR semakin besar, maka berarti beban utang yang ditanggung juga semakin besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News