Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio pembayaran utang atau Debt to Service Ratio (DSR) Tier-1 Indonesia mengalami penurunan. Penurunan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan utang Indonesia semakin membaik.
Oleh karena itu, ini menjadi momentum yang mesti terus dijaga. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi yang tak menentu di tahun ini bisa saja rasio pembayaran utang akan kembali meningkat.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mendorong pemerintah untuk terus melanjutkan disiplin fiskal. Menurutnya, hal tersebut baik dari sisi spending (pengeluaran) maupun penerimaan agar defisit dan akumulasi utang bisa tetap prudent.
Baca Juga: Jurus Sejumlah Bank Besar Jaga Rasio Kecukupan Modal di Tahun Ini
Memang, dirinya melihat pada tahun ini belum akan ada potensi yang membuat rasio pembayaran utang atau DSR mengalami kenaikan. Justru, Riefky menduga DSR akan mengalami perlambatan lantaran baik utang pemerintah maupun utang korporasi trennya cenderung melambat.
"Jadi walaupun memang lagi ada tren kenaikan suku bunga nampaknya dari issue utangnya relatif melambat, sehingga dampaknya ke DSR di tahun ini relatif akan melambat," ujar Riefky kepada Kontan.co.id, Sabtu (11/2).
Sebagai gambaran, berdasarkan data yang dihimpun dari Bank Indonesia (BI), DSR Tier-1 kuartal III-2022 tercatat sebesar 16,9% atau turun dari kuartal II-2022 yang sebesar 17,92%. Apabila ditelisik, memang DSR Indonesia terus melanjutkan tren penurunan dan merupakan momen yang baik.
Hanya saja, apabila melihat data BI, dari tahun 2015 hingga kuartal II-2021, rasio pembayaran utang selalu berada di atas 25%.
Baca Juga: Begini Strategi Bank Jaga Rasio Kecukupan Modal Tetap Kuat di Tahun Ini
Barulah pada kuartal III-2021 mulai menunjukkan perbaikan yang bisa dilihat dari DSR Tier-1 sebesar 24,80% atau berada di bawah 25%. Pasalnya, rasio DSR yang aman untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah sekitar 20% hingga 25%.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, DSR bisa diartikan sebagai rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan.
Artinya, dinamika dari DSR tersebut akan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya utang jatuh tempo dan penerimaan transaksi berjalan.
Yusuf bilang, jika mengacu pada utang jatuh tempo, menurutnya akan ada peningkatan dari sekitar Rp 360 triliun menjadi Rp 456 triliun.
Di saat yang bersamaan, dirinya menduga potensi penerimaan dari neraca transaksi berjalan juga mengecil akibat kinerja dari neraca barang yang tidak sebesar tahun 2022.
Baca Juga: Fokus Bisnis Energi Hijau, TOBA Menawarkan Obligasi Senilai Rp 500 Miliar
Ini tidak terlepas dari penyesuaian harga komoditas yang tidak setinggi di tahun lalu dan juga penyesuaian pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor Indonesia seperti China dan Amerika Serikat (AS) yang berpotensi melambat akibat tekanan inflasi dan kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral beberapa negara.
"Kondisi ekonomi global juga masih berpeluang volatilitas di pasar keuangan yang berpotensi mendorong dinamika defisit pada pendapat primer yang muaranya akan berpengaruh ke neraca transaksi berjalan," kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (12/2).
Untuk diketahui, rasio DSR mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang, sehingga apabila rasio DSR semakin besar, maka berarti beban utang yang ditanggung juga semakin besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News