kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menteri Yasonna: Pembatasan hak napi kasus korupsi itu melanggar HAM


Rabu, 18 September 2019 / 14:51 WIB
Menteri Yasonna: Pembatasan hak napi kasus korupsi itu melanggar HAM
ILUSTRASI. RAKER PEMBAHASAN RUU PEMASYARAKATAN


Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan bahwa pembatasan hak narapidana kasus korupsi dalam mengajukan pembebasan bersyarat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

Dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), DPR dan Pemerintah sepakat mempermudah pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi. 

Baca Juga: Pembahasan selesai, Undang-Undang Ekonomi Kreatif segera disahkan

Artinya syarat justice collaborator dan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lagi dibutuhkan dalam pengajuan pembebasan bersyarat napi koruptor. 

Kedua syarat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

"Bebas bersyarat itu kan hak, pembatasan hak harus melalui undang-undang begitu, ya. Pokoknya setiap orang punya hak. (pembatasan) itu melanggar hak asasi," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).

Yasonna mengatakan, pada dasarnya pembatasan hak terhadap narapidana hanya bisa dilakukan oleh putusan pengadilan dan berdasarkan undang-undang.

Baca Juga: Revisi UU Pemasyarakatan, permudah pembebasan bersyarat bagi koruptor

Dengan demikian, peraturan pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan di atasnya atau undang-undang harus dibatalkan.  "Pembatasan (hak) itu melalui dua, putusan pengadilan dan undang-undang," kata Yasonna. 

Yasonna membantah ketentuan RUU Pemasyarakan yang baru disepakati dan pembatasan PP Nomor 99 Tahun 2012 akan mempermudah napi koruptor mengajukan pembebasan bersyarat. Ia menegaskan bahwa akan ada aturan turunan terkait pengajuan bebas bersyarat. 

Namun politisi PDI-P itu tidak menjelaskan secara detail redaksional dalam aturan turunannya. "Ya semua disesuaikan dengan UU yang lebih tinggi Nanti kita lihat pelan-pelan ya, nanti kita lihat turunannya seperti apa dulu lah," ucap Yasonna. 

DPR dan Pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Kerja antara Komisi III dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). 

Salah satu poin yang disepakati yakni terkait pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi. 

Baca Juga: Revisi UU KPK disahkan, KPK bentuk tim transisi

Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan, rancangan UU Pemasyarakatan yang akan disahkan dalam waktu dekat itu, meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Dengan demikian aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1995. "Kita berlakukan (kembali) PP 32 tahun 1999," ujar Erma saat ditemui seusai Rapat Kerja. 

PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum yang selama ini memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi napi korupsi. 

Pasal 43A mengatur syarat kesediaan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dikenal istilah justice collaborator

Kemudian Pasal 43B ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat. 

Namun aturan soal justice collaborator dan rekomendasi KPK tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1995. Erma menjelaskan, dengan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1995, maka pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.  

Terpidana kasus korupsi tidak dapat mengajukan pembebasan bersyarat jika hal itu tercantum dalam putusan hakim. Selain itu, pemberian pembebasan bersyarat mengacu pada penilaian Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham. 

Menurut Erma hal ini sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak. Berdasarkan asas hukum pidana, hak seorang warga negara, termasuk narapidana, hanya bisa dicabut atau dibatasi oleh dua hal, yakni undang-undang dan putusan pengadilan. 

Baca Juga: Para ahli PBB desak Indonesia cabut kasus Veronica Koman

"Penerima remisi, cuti bersyarat dan lain sebagainya itu teman-teman di Pemasyarakatan yang akan menilai," kata Erma. 

"Tapi sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak hak nya itu dicabut maka itu tetap berlaku, boleh mereka mengajukan. Diterima atau tidak tergantung Kemenkumham," ucap politisi dari Partai Demokrat itu. 

Setelah disepakati dalam Rapat Kerja, rancangan UU Pemasyarakatan akan dibahas dalam pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. (Kristian Erdianto)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Yasonna: Pembatasan Hak Napi Kasus Korupsi itu Melanggar HAM"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×