Sumber: Kompas.com | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Desakan agar pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Para ahli Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.
"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).
Baca Juga: Donald Trump: AS-Jepang capai kesepakatan awal tarif perdagangan
"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," sambung mereka.
Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi? dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Ethiopia dan Michel Forst dari Perancis.
Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.
Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.
Baca Juga: Well Harvest Winning kejar target produksi 1 juta ton tahun ini
Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan, dinilai tak akan menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.
"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," lanjut mereka.
Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.
Baca Juga: Produksi pesawat N219 untuk mengisi 25% pasar dunia
Diketahui, Veronica ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat pada tanggal 4 September 2019.
Polisi menjerat Veronica dengan sejumlah pasal dalam beberapa UU, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pasal penghasutan, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Baca Juga: Ekspor konsentrat tembaga Freeport Indonesia naik jadi 700.000 ton
Menurut kepolisian, ada beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.
Salah satu unggahan yang dimaksud, yaitu "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "PBB Turun Tangan, Desak Indonesia Bebaskan Veronica Koman"
Penulis: Devina Halim, Editor: Fabian Januarius Kuwado
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News