kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menteri ATR: Implementasi UU pokok agraria perlu disesuaikan perkembangan zaman


Rabu, 09 September 2020 / 19:17 WIB
Menteri ATR: Implementasi UU pokok agraria perlu disesuaikan perkembangan zaman
ILUSTRASI. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengatakan, prinsip-prinsip dalam UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UU PA) terbilang bagus. Namun, implementasi UU itu harus dilihat pada situasi saat ini dimana masyarakat menuju revolusi industri 4.0 yang juga berimplikasi pada masalah tanah.

“UU PA ini perlu kita pertahankan, tapi perlu di reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Tapi yang paling penting esensi dari tujuan UU ini harus dapat kita capai,” kata Sofyan saat diskusi virtual, Rabu (9/9).

Sofyan menyayangkan belum adanya UU tentang pertanahan yang harusnya sebagai penjelasan UU pokok agraria. Ia juga mengatakan, bahwa UU PA yang merupakan lex generalist mestinya menjadi dasar bagi pembentukan UU sektoral seperti UU tentang kehutanan dan UU tentang pertambangan.

Baca Juga: Ini alasan Kementerian ATR minta tambahan anggaran Rp 2,31 triliun di 2021

“UU pokok ini, kalau pemahaman saya pokok ada cabangnya harusnya, tapi cabang ini tidak pernah dirumuskan atau dirumuskan tidak sejalan dengan pokoknya seperti UU kehutanan yang lahir tahun 67, UU pertambangan. Intinya adalah namanya juga UU dalam produk konsensus politik artinya bagaimana konstelasi politik yang ada pada zamannya,” ujar dia.

Menurut Sofyan, UU PA ini kurang memperhatikan salah satu yang dinginkan oleh pasal 2 ayat 2 UU tersebut yakni tentang persediaan tanah. Hal ini yang membuat kesulitan dalam membangun rumah rakyat sehingga kota – kota di Indonesia berkembang ke seluruh arah.

“Karena negara tidak punya tanah, baru sekarang kami berpikir bahwa UU ini, negara ini harus punya bank tanah untuk kepentingan membangun rumah rakyat, bikin taman, bayangkan kota-kota kita sangat tidak manusiawi,” terang dia.

Sofyan mengatakan, hal itu juga yang membuat orang-orang miskin makin tinggal jauh di luar kota. Bahkan ada yang menghabiskan hingga dua sampai tiga jam untuk mencapai kantor atau tempat kerja di pusat kota. Sementara, orang – orang kaya tinggal di dalam kota. Ia menyebut, harusnya orang-orang miskin tinggal semakin mendekati pusat kota sehingga transportasinya tidak mahal.

“Kemudian, karena tidak ada persediaan tanah sehingga kebijakan perumahan perkotaan itu tidak bisa di drive oleh pemerintah, tapi cuma di drive oleh policy lain. Akhirnya bekasi karawang yang dulu terkenal lumbung beras menjadi perumahan yang tidak optimum karena sawah itu tempat air sebenarnya akibatnya banjir suatu keniscayaan,” jelas Sofyan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono mengatakan, UU sektoral harusnya mengacu pada UU pokok agraria. Namun, kenyataannya hal itu tidak.

“Mestinya kedudukan UU PA merupakan umbrella act, mestinya kedudukannya dia akan menjadi lex generalist. Dasar dan ketentuannya itu dijabarkan di dalam UU sektoral,” kata Maria.

Baca Juga: Benahi Jabodetabek-Punjur, Menteri ATR/BPN usul pembentukan tim koordinasi

Kenyataannya, setelah UU PA terbit UU di bidang sumber daya alam yang lain di luar UU PA yang langsung merujuk pada pasal 33 UUD 1945. Tanpa pernah menyinggung UU PA sebagai landasan hukumnya.

“UU PA itu diniatkan sebagai lex generalist tapi sekaligus didalamnya diatur tentang pertanahan,” ucap dia.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, akibatnya ekonomi politik agraria yang cenderung kapitalistik. Hal ini karena UU PA tidak dijalankan lengkap secara penuh dan konsekuen.

Dewi mengatakan, terdapat permasalahan agraria yang terjadi saat ini. Pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam, akumulasi konflik agraria struktural, deagrarianisasi atau alih fungsi tanah pertanian yang begitu drastis cepat.

“Sensus pertanian menunjukkan luas baku sawah, tanah-tanah pertanian dikonversi begitu luas untuk sistem perkebunan monokultur pembangunan infrastruktur dan lainnya,” kata Dewi.

Selanjutnya: Pemerintah genjot proyek infrastruktur untuk serap tenaga kerja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×