kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Menilik potensi pajak sektor jasa digital dengan skema PPN


Kamis, 25 Oktober 2018 / 23:08 WIB
Menilik potensi pajak sektor jasa digital dengan skema PPN
ILUSTRASI. Ilustrasi Pajak


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Layanan jasa digital alias Over-The-Top (OTT) merupakan salah satu sektor ekonomi digital yang bertumbuh pesat, terutama di Indonesia. Lantas, potensi penerimaan pajak dari sektor ini pun begitu besar dan patut direspon se-efektif mungkin.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pernah mencatat, Indonesia berkontribusi sekitar Rp 15 triliun terhadap pasar OTT global per tahunnya. Sayang, kompleksitas OTT membuat aturan dan kebijakan pajak sektor ini sulit dibuat tak hanya di Indonesia, melainkan di berbagai negara di dunia.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan, penerapan PPh atau pengenalan jenis pajak baru untuk OTT terus menjadi polemik secara global.

"Soalnya, hak pemajakan lintas negara (PPh) masih berpatokan pada keberadaan fisik padahal praktik bisnisnya sudah tidak mensyaratkan demikian," ujar Yustinus, Kamis (25/10).

Setelah melakukan kajian komparatif, Yustinus mengemukakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi jasa digital cross-border bisa menjadi solusi untuk menjaring penerimaan tanpa mengubah sistem yang ada.

Asal tahu saja, PPN menganut prinsip destinasi (destination principle), yaitu pajak dikenakan pada tempat di mana barang atau jasa tersebut dikonsumsi atau negara sumber penghasilan (source-income country).

CITA melihat, aktivitas OTT jelas memenuhi syarat sebagai transaksi yang terutang PPN. "Selain itu, sudah ada acuannya juga dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), ada best practice dari beberapa negara lain, dan secara legal administratif juga memungkinkan," kata Yustinus.

Mekanisme yang diterapkan antara lain ialah supplier collection, yakni tugas pemungutan PPN dilakukan oleh supplier asing. Secara teknis, supplier dengan omset melebihi threshold Rp 4,8 miliar diwajibkan melakukan registrasi sebagai pemungut PPN.

Nantinya, Yustinus menjelaskan, PPN yang terkumpul disetor dan dilaporkan dalam periode tertentu melalui mekanisme sederhana (simplified registration), tanpa perlu dalam format full-reporting.



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×