kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik potensi pajak sektor jasa digital dengan skema PPN


Kamis, 25 Oktober 2018 / 23:08 WIB
Menilik potensi pajak sektor jasa digital dengan skema PPN
ILUSTRASI. Ilustrasi Pajak


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

Memang, Yustinus bilang, untuk menerapkan supplier collection perlu revisi UU PPN Pasal 3A ayat 3 yang substansinya mengatur pendekatan consumer collection. Pasal 2 UU KUP yang mengatur tempat dan syarat pendaftaran juga menjadi tidak relevan.

"Reformasi pajak bisa jadi momentum tepat untuk memperbaiki kerangka hukum dan aturan teknis pemajakan ekonomi digital," terangnya.

Lebih lanjut, Yustinus menjelaskan, skema supplier collection ini hanya berlaku untuk transaksi business-to-customer (B2C). Transaksi yang bersifat business-to-business (B2B) tetap mengikuti perundang-undangan melalui pemungutan PPN atas impor jasa luar negeri terhadap pengusaha kena pajak (PKP) atau dikenal juga dengan reverse charge.

Mekanisme supplier collection tersebut, menurut Yustinus, cukup populer lantaran sebanyak 29 dari 35 negara OECD telah mengadopsinya. Begitu juga dengan Uni Eropa, Rusia, India, dan Afrika Selatan.

Adapun, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Rofyanto Kurniawan, mengakui penerapan skema PPN untuk pasar OTT tersebut mungkin saja diterapkan di Indonesia. BKF sendiri telah mempelajari penerapan pajak ekonomi digital sejumlah negara, seperti Uni Eropa dan Australia.

"Kami juga prinsipnya, tidak ada jenis pajak baru untuk ekonomi digital dan mengupayakan same level playing field untuk pelaku bisnis digital maupun konvensional," tandas Rofyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×