kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur kesiapan pemerintah hadapi potensi outflow valas tahun ini


Kamis, 09 Mei 2019 / 22:08 WIB
Mengukur kesiapan pemerintah hadapi potensi outflow valas tahun ini


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan sektor keuangan tak semakin mudah di tahun ini. Di tengah kondisi ekonomi dan perdagangan global yang tak kondusif, Indonesia juga menghadapi potensi keluarnya dana valuta asing (valas) dalam jumlah jumbo sepanjang tahun 2019.

Seperti yang diketahui, tahun ini menjadi akhir dari masa tahan (holding period) dana repatriasi program pengampunan pajak atau tax amnesty. Dana yang sebagian besar terparkir di berbagai bank mitra dalam negeri tersebut diperkirakan mencapai Rp 138 triliun.

Tak hanya itu, tahun ini perusahaan pelat merah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) akan mulai membayar kupon obligasi globalnya pada tahun ini.

Berdasarkan catatan Kontan.co.id, Inalum melakukan pembayaran sebanyak dua kali setahun dengan besaran masing US$ 300 juta, dimulai pada Mei 2019 hingga 2021 mendatang.

Selain itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mencatat, jumlah utang luar negeri (ULN) pemerintah dan swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jatuh tempo pada tahun ini mencapai sekitar US$ 60 miliar.

Sementara utang pemerintah pusat dalam denominasi rupiah yang jatuh tempo tahun ini berkisar Rp 475 triliun.

"Risiko likuiditas valas tahun ini memang tetap ada. Itu sebabnya suplai dollar harus terus didorong dan kebutuhan dollar untuk kepentingan yang kurang produktif harus makin dikurangi," ujar Josua, Kamis (9/5).

Kendati begitu, Josua memandang, saat ini suplai valas di dalam negeri masih mengandalkan arus modal asing pada instrumen portofolio. Secara year-to-date (ytd), Josua memperkirakan net inflow asing pada pasar saham dan obligasi berkisar US$ 9 miliar.

Itu sebabnya, pemerintah dan Bank Indonesia mengeluarkan bauran kebijakan yang mendukung dan menjaga arus masuk modal tersebut.

"Misalnya, BI melonggarkan ketentuan kewajiban underlying Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), itu salah satu cara untuk mencegah valas keluar dari Indonesia akibat hedging offshore. BI juga masih akan terus mempertahankan suku bunga kebijakannya," kata Josua.

Sementara, pemerintah juga baru saja menurunkan batas minimal penawaran pembelian Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana domestik dengan cara private placement dengan jenis valas, yaitu dari awalnya US$ 50 juta, kini menjadi hanya US$ 25 juta dengan nilai minimal nominal untuk satu seri sebesar US$ 1 juta atau ekuivalen dengan mata uang asing lain dan berlaku kelipatannya.

Menurut Josua, kebijakan ini merupakan salah satu strategi pemerintah menarik minat pemilik dana repatriasi tax amnesty untuk tetap menempatkan dananya di dalam instrumen milik pemerintah Indonesia.

Kendati begitu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, suplai valas dari portofolio yang dinikmati saat ini bukan tanpa risiko. Arus modal investor asing pada instrumen portofolio amat rentan berbalik dan menimbulkan bahaya pada stabilitas keuangan dalam negeri.

"Pergerakan arus modal investor di portofolio, itu yang paling bahaya karena pembalikan arus (sudden reversal) bisa terjadi kapan saja dan tidak terprediksi. Efeknya sangat besar terhadap perekonomian dan nilai tukar rupiah," ujar Piter, Kamis (9/5).

Piter menggambarkan situasi saat ini sebagai contoh kecilnya, di mana sentimen global dari perang dagang yang kembali memanas memberi tekanan pada nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir. Bahkan, nilai tukar rupiah di pasar spot hari ini menginjak level Rp 14.360 per dollar AS.

Tambah lagi, kepemilikan asing pada SUN domestik juga masih besar yaitu 38,3% dengan nilai Rp 959,9 triliun. "Ini kenapa dampak sudden reversal sangat besar karena kita masih sangat bergantung pada asing, bahkan dalam komposisi SUN domestik kita," ujar Piter.

Sementara itu, Josua menilai masih sangat sulit bagi pemerintah dalam jangka pendek dan menengah ini untuk mengandalkan suplai valas dari aktivitas ekspor.

Pasalnya, situasi pelemahan ekonomi global dan perlambatan volume perdagangan global juga semakin menekan prospek kinerja ekspor Indonesia tahun ini.

"Paling tidak, kita hanya bisa menekan impor untuk menjaga defisit transaksi berjalan tidak semakin dalam defisitnya. Sisanya, andalkan konsumsi dalam negeri dan investasi portofolio untuk bertahan dari kondisi global yang lemah," kata Josua.

Dari sisi fiskal, Josua dan Piter meyakini pengelolaan anggaran sejauh ini sudah cukup prudent. Hanya, pemerintah mesti memastikan agar defisit anggaran tidak mengalami pelebaran karena akan mengurangi kepercayaan investor pada pasar keuangan Indonesia. Lantas, target penerimaan dan pengelolaan pembiayaan pun harus tetap terjaga.

Strategi pemerintah

Sementara itu, pemerintah mengaku siap menghadapi segala potensi risiko pada perekonomian dan sektor keuangan dalam negeri pada tahun ini.

Dalam pertemuan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menampik adanya beberapa potensi risiko, khususnya yang berasal dari global.

"Merespon hal tersebut, KSSK terus memperkuat koordinasi kebijakan moneter, fiskal, makroprudensial, mikroprudensial, dan penjaminan simpanan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi serta menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Menghadapi tingginya volume utang jatuh tempo pemerintah sepanjang tahun ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu Luky Alfirman juga percaya diri.

Menurutnya, seluruh strategi DJPPR sepanjang tahun ini, termasuk soal penerbitan utang baru, sudah memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan pembiayaan secara menyeluruh.

"Semua sudah diperhitungkan, termasuk yang akan jatuh tempo, dalam strategi penerbitan SBN tahunan. Semuanya masih on-track," ujar Luky kepada Kontan.co.id, Rabu (8/5).

Sepanjang tahun ini, Kemkeu mematok penerbitan SBN Gross sebesar Rp 825,7 triliun. Sementara, penerbitan SBN Neto ditargetkan sebesar Rp 388,96 triliun.

Untuk mencegah besarnya risiko mata uang (currency risk), DJPPR pun merencanakan strategi penerbitan SBN yang sekitar 86% berdenominasi rupiah, baik melalui masing-masing 24 kali lelang untuk SBN konvensional dan syariah maupun melalui SBN non-lelang seperi ritel dan private placement.

Di samping itu, DJPPR juga menargetkan penerbitan SBN valas dengan komposisi sekitar 17%. Salah satu tujuannya, untuk mencegah crowding-out terjadi di dalam pasar keuangan domestik.

Berdasarkan data DJPPR, total realisasi penerbitan SBN hingga 25 April lalu mencapai Rp 386,25 triliun. Penerbitan tersebut terdiri dari SBN lelang, SBN ritel, private placement, dan penerbitan SBN valas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×