Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
Kendati begitu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, suplai valas dari portofolio yang dinikmati saat ini bukan tanpa risiko. Arus modal investor asing pada instrumen portofolio amat rentan berbalik dan menimbulkan bahaya pada stabilitas keuangan dalam negeri.
"Pergerakan arus modal investor di portofolio, itu yang paling bahaya karena pembalikan arus (sudden reversal) bisa terjadi kapan saja dan tidak terprediksi. Efeknya sangat besar terhadap perekonomian dan nilai tukar rupiah," ujar Piter, Kamis (9/5).
Piter menggambarkan situasi saat ini sebagai contoh kecilnya, di mana sentimen global dari perang dagang yang kembali memanas memberi tekanan pada nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir. Bahkan, nilai tukar rupiah di pasar spot hari ini menginjak level Rp 14.360 per dollar AS.
Tambah lagi, kepemilikan asing pada SUN domestik juga masih besar yaitu 38,3% dengan nilai Rp 959,9 triliun. "Ini kenapa dampak sudden reversal sangat besar karena kita masih sangat bergantung pada asing, bahkan dalam komposisi SUN domestik kita," ujar Piter.
Sementara itu, Josua menilai masih sangat sulit bagi pemerintah dalam jangka pendek dan menengah ini untuk mengandalkan suplai valas dari aktivitas ekspor.
Pasalnya, situasi pelemahan ekonomi global dan perlambatan volume perdagangan global juga semakin menekan prospek kinerja ekspor Indonesia tahun ini.
"Paling tidak, kita hanya bisa menekan impor untuk menjaga defisit transaksi berjalan tidak semakin dalam defisitnya. Sisanya, andalkan konsumsi dalam negeri dan investasi portofolio untuk bertahan dari kondisi global yang lemah," kata Josua.
Dari sisi fiskal, Josua dan Piter meyakini pengelolaan anggaran sejauh ini sudah cukup prudent. Hanya, pemerintah mesti memastikan agar defisit anggaran tidak mengalami pelebaran karena akan mengurangi kepercayaan investor pada pasar keuangan Indonesia. Lantas, target penerimaan dan pengelolaan pembiayaan pun harus tetap terjaga.