Reporter: Grace Olivia | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kondisi perekonomian global masih diliputi ketidakpastian dan berpotensi mengalami volatilitas yang tinggi di sepanjang tahun ini. Setidaknya, itulah yang menjadi oleh-oleh catatan Kementerian Keuangan dari gelaran Spring Meeting World Bank-International Monetary Fund (IMF) 2019 pekan lalu.
Seperti yang diketahui, potensi penurunan pertumbuhan ekonomi global di 2019 semakin besar. Bank Dunia dan IMF mencatat faktor penyebabnya masih seputar ketegangan perdagangan, ketidakpastian kebijakan seperti nasib Brexit yang diundur ke akhir tahun, risiko geopolitik, hingga mengetatnya kondisi keuangan global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan, kondisi ketidakpastian ini memengaruhi pasar keuangan global di mana terjadi kenaikan risiko dan harga aset kendati suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) diyakini tidak naik lagi, bahkan mungkin berbalik turun.
"Peningkatan short term risk premia asset prices akan mendorong peningkatan biaya dana (cost of fund), menurunkan investasi, menekan pertumbuhan ekonomi, serta berpotensi meningkatkan pengangguran," terang dia dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Senin (22/4).
Oleh karena itu, Suahasil mengatakan, pemerintah terus melakukan pemantauan (monitoring) terhadap perkembangan pasar keuangan global. Deteksi terhadap sumber-sumber potensi risiko sistemik juga terus dilakukan, termasuk dari sisi produk keuangan.
"Kondisi sektor keuangan kita cukup memiliki daya tahan dengan CAR (rasio kecukupan modal) yang masih tinggi, dan NPL (rasio kredit bermasalah) yang rendah. Tapi, kita tetap antisipasi risiko-risiko yang mungkin muncul," ujar Suahasil.
Adapun, terdapat dua risiko yang perlu dicermati oleh negara emerging market, lanjutnya. Pertama, kenaikan risiko utang, baik utang korporasi maupun utang sektor publik. Kedua, adanya potensi arus keluar modal asing yang deras secara tiba-tiba (sudden capital outflow) dari pasar.
Hal ini lantaran, adanya shock di pasar keuangan global akan memiliki dampak interkoneksi yang besar terhadap negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Namun, Suahasil bilang, Indonesia termasuk negara yang dikategorikan aman dari risiko utang karena memiliki rasio terhadap PDB di kisaran 30%. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5,2% juga termasuk yang paling tinggi di antara negara anggota G-20.
"Indonesia mendapat apresiasi karena mampu menahan (utang). Kita juga dianggap bisa mengkonversi utang kepada pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Selanjutnya, pemerintah akan terus awas sambil melakukan komunikasi kebijakan dengan baik untuk menjaga kredibilitas serta keyakinan dunia usaha di tengah situasi ekonomi global saat ini. Di samping itu, pemerintah juga terus menggali potensi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru agar momentum pertumbuhan yang sudah ada tetap terjaga, bahkan meningkat.
"Juga memastikan dunia usaha memiliki fleksibilitas dan mampu melakukan adjustment terhadap situasi ekonomi dunia sekarang," kata dia.
Adapun, Suahasil optimis melihat geliat dunia usaha di kuartal pertama lalu. Maret, Purchasing Manager's Index (PMI) menunjukkan perbaikan kondisi industri manufaktur di mana indeks naik ke level 51,2. Indeks tersebut membaik dibandingkan Januari dan Februari dengan indeks masing-masing 49,9 dan 50,1.
Perbaikan indeks PMI menurutnya mengindikasikan perusahaan mulai melakukan pembelian barang input dan siap melakukan proses produksi.
"Utilisasi tenaga kerja juga relatif meningkat sejalan dengan tingkat pesanan yang naik, meski kinerja ekspor terutama nonmigas masih belum menunjukkan perbaikan dalam empat bulan terakhir," tandas Suahasil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News