Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mendorong penerapan Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) secara lebih luas untuk memastikan kebijakan pembangunan mampu beradaptasi dengan ketidakpastian global dan tantangan lintas sektor.
Direktur Sistem dan Manajemen Risiko Kementerian PPN/Bappenas, Prakosa Grahayudiandono menyebutkan bahwa pendekatan manajemen risiko akan menjadi fondasi penting dalam perencanaan menuju Visi Indonesia Emas 2045. Penerapan ini pun menurutnya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2023.
Baca Juga: Membudayakan Prinsip Sadar Risiko di Tengah Masyarakat
Untuk itu menurutnya, kebijakan pembangunan bangsa kedepan perlu adaptif terhadap dinamika sosial, keuangan, dan kompleksitas masyarakat kita. Karena manajemen risiko tentu tidak bisa satu ukuran untuk semua, melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap sektor.
“Bisa jadi dengan kondisi keuangan, kompleksitas masyarakatnya, kemajemukan dan segala macam, itu kemudian bisa di-adjust sedemikian rupa, sesuai dengan kebutuhan masing-masing,” ujar Prakosa dalam Diskusi Publik “Sadar Risiko dalam Perspektif Inovasi dan Pembangunan” pekan lalu, dikutip Selasa (11/11).
Forum tersebut merupakan bagian dari rangkaian Road to Hari Sadar Risiko Nasional 2025, yang akan diperingati pada 15 Desember mendatang. Acara ini digelar oleh Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) bersama sejumlah mitra lintas sektor, untuk memperkuat budaya sadar risiko di tengah masyarakat.
Ketua MASINDO Dimas Syailendra Ranadireksa menjelaskan, kesadaran risiko perlu dipandang sebagai langkah reaktif terhadap krisis. Untuk itu Ia menekankan pentingnya perubahan pola pikir masyarakat dari sikap “bagaimana nanti” menjadi “nanti bagaimana” — dari pasif menjadi antisipatif terhadap risiko.
“Kalau di transportasi kita pakai helm dan sabuk pengaman, di kesehatan kita punya makanan rendah gula untuk mencegah diabetes, dan di ruang digital kita semakin sadar soal proteksi data. Semua itu contoh sederhana pendekatan pengurangan risiko,” ujarnya.
Dalam konteks kesehatan publik, Dimas juga menyoroti pendekatan harm reduction atau pengurangan bahaya sebagai bagian dari strategi pengendalian risiko yang lebih realistis.
“Untuk perokok dewasa yang belum bisa berhenti sepenuhnya, beralih ke produk tembakau alternatif yang tidak melalui proses pembakaran dapat menjadi opsi transisi yang secara ilmiah terbukti menurunkan risiko kesehatan. Ini bukan menggantikan upaya berhenti merokok, tapi bagian dari strategi bertahap agar risiko kesehatan dapat ditekan secara lebih realistis,” jelasnya.
Sementara itu Nurma Midayanti, Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), mengatakan bahwa peran data statistik juga perlu menjadi perhatian dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko sosial-ekonomi.
“Tanpa data yang kredibel, sulit bagi masyarakat memahami arah pembangunan, dan sulit bagi pemerintah melegitimasi kebijakan. Jadi untuk itulah, ayo kita bersama-sama untuk membangun literasi data sendiri,” ujar Nurma.
Forum ini menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, dan media dalam memperkuat budaya sadar risiko nasional. Pendekatan tersebut diharapkan menghasilkan kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi juga berorientasi pada pencegahan dan inovasi
Dengan semangat Hari Sadar Risiko Nasional 2025, para pemangku kepentingan berharap kesadaran risiko tidak lagi dilihat sebagai urusan teknis, melainkan sebagai budaya pembangunan yang melekat dalam setiap kebijakan publik.
Selanjutnya: Pemerintah Pusat Buka Peluang Proyek Kota Tua dan Sumber Waras Jadi PSN
Menarik Dibaca: Harga Jual Emas Anting Sebelah, Apakah Nilainya Turun Drastis?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













