Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Industri tekstil nasional menghadapi tekanan berat akibat permintaan yang lesu dan tertutupnya akses pembiayaan perbankan. PT Mayer Indah Indonesia melaporkan permasalahan tersebut melalui kanal debottlenecking, dan langsung digelar sidang oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Selasa (23/12).
GM PT Mayer Indah Indonesia, Melisa Suria mengungkapkan perusahaan yang telah berdiri sejak 1973 ini kesulitan memperoleh kredit modal kerja meski sudah mengantongi kontrak penjualan dan pesanan produksi. Mayer Indah Indonesia dikenal sebagai produsen kain bordir dan kain kebaya, produk yang selama puluhan tahun menjadi bagian dari sejarah dan budaya busana Indonesia.
Namun, Melisa menuturkan lima tahun terakhir menjadi periode paling berat, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda.
Baca Juga: Kemenkeu Perpanjang Insentif Tax Holiday Hingga Desember 2026
"Lima tahun belakangan ini terutama karena Covid, tabungan kami habis," ujar Melisa dalam sidang bersama Purbaya, Selasa (23/12). Ia menjelaskan, akibat pandemi Covid-19, omzet mereka mengalami penurunan hingga 50% karena adanya pembatasan kegiatan diluar, seperti perayaan pesta.
Setelah pandemi resmi dicabut dan aktivitas ekonomi kembali normal, perusahaan berharap dapat bangkit perlahan.
Namun harapan tersebut kembali terpukul oleh derasnya barang impor dan melemahnya industri konveksi dalam negeri.
Banyak pelanggan lama Mayer Indah Indonesia, khususnya konveksi di kawasan Tanah Abang, terpaksa memulangkan penjahitnya ke kampung karena tidak mampu bersaing harga.
Di tengah upaya pemulihan, Melisa sempat melihat "angin segar" ketika pemerintah mengumumkan penyaluran dana Rp 200 triliun ke sektor perbankan. Namun realitanya, akses ke perbankan justru tertutup rapat.
"Sejak awal September sampai sekarang sudah lebih dari 20 bank saya datangin. Termasuk bank Himbara yang di pak Menteri bilang kan salurkan dananya. Semua bilang, semua menolak intinya karena industrin tekstil itu di lampu oren atau lampu merah," katanya.
Bahkan bank rekanan yang telah bekerja sama lebih dari 15 tahun pun mengambil sikap serupa.
Menurut Melisa, bank menyebut industri tekstil sudah terlalu "bleeding" sehingga tidak lagi layak dibiayai.
Padahal, ia menegaskan perusahaannya bukan tidak memiliki pasar.
Sekitar 80% penjualan masih berasal dari pasar domestik dan 20% ekspor, meski kinerja ekspor terus tertekan akibat perang global yang mendorong biaya kontainer melonjak tajam.
Baca Juga: Ketum Kadin Bertemu Menkeu Bahas Industri Baja, Alas Kaki, Hingga Tekstil
Menjelang Lebaran, tanda-tanda pemulihan sebenarnya mulai terlihat. Konveksi-konveksi yang sebelumnya menghentikan produksi kini mulai memanggil kembali para penjahit karena pesanan kembali masuk.
Namun keterbatasan modal membuat pabrik tidak mampu memenuhi permintaan tersebut.
"Kami cuma bisa beli benang 30% atau 40% dari total order. Jadi ini adalah suatu masalah, karena cepat atau lambat kami mesti udahan kalau seperti ini terus keadaannya," cerita dia.
Selanjutnya: Pelayaran Nelly Dwi Putri (NELY) Bidik Momentum Pemulihan di 2026
Menarik Dibaca: 7 Rekomendasi Skincare Korea Terbaik untuk Kulit Berjerawat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













