Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah telah menyelesaikan perundingan lanjutan termasuk negosiasi tarif respirokal dengan Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, dalam negosiasinya, AS meminta timbal balik dengan pembukaan akses untuk mendapatkan mineral kritis RI. Sebagai gantinya, Indonesia memperoleh pengecualian tarif khusus untuk sejumlah produk unggulan ekspor, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan komoditas lainnya yaitu teh.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, permintaan akses mineral kritis dari AS dinilai sepadan apabila imbal baliknya jelas, besar, dan Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat jangka panjang.
“Karena mineral kritis bukan sekadar komoditas dagang melainkan aset strategis untuk industri, penerimaan negara, dan posisi tawar geopolitik,” tutur Josua kepada Kontan, Senin (23/12/2025).
Baca Juga: Hasil Negosiasi Airlangga: AS Minta Akses Mineral Kritis Indonesia
Josua menilai, dalam kerangka perundingan perdagangan resiprokal yang memang menekankan keseimbangan kepentingan kedua pihak, Indonesia dapat mempertimbangkan akses tersebut jika dibatasi pada skema yang memperkuat nilai tambah di dalam negeri.
Di antaranya, melalui investasi nyata pada pemurnian dan pengolahan, alih teknologi, pendanaan rantai pasok, kepastian pembelian jangka panjang dengan harga yang wajar, serta penciptaan lapangan kerja dan pengembangan kemampuan industri nasional, bukan sekadar akses ke bahan mentah.
Sebaliknya, bila yang diminta adalah akses luas tanpa kewajiban investasi dan tanpa perlindungan terhadap kepentingan hilirisasi serta ketahanan pasokan domestik, maka risiko besar yang akan muncul yakni Indonesia terkunci sebagai pemasok bahan baku, rentan terhadap tekanan harga, dan menghadapi beban lingkungan serta sosial tanpa kompensasi memadai.
Karena itu, menurutnya ukuran yang sepadan adalah, diperlukan penurunan tarif yang lebih dalam dan stabil untuk produk ekspor utama dan padat karya, penyederhanaan hambatan perdagangan selain tarif, serta perluasan pengecualian tarif untuk komoditas unggulan Indonesia yang disepakati dalam dokumen perjanjian.
Baca Juga: Negosiasi Tarif Resiprokal RI-AS Berlanjut, Target Kelar Akhir 2025
“Sehingga manfaatnya tidak hanya sesaat tetapi memperkuat daya saing ekspor dan industrialisasi Indonesia,” ungkapnya.
Dalam kesempatan berbeda, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menilai, permintaan AS tersebut akan sepadan asalkan dibarengi dengan investasi patut dipertimbangkan.
“Asalkan, bagi hasil fair (adil) dan taat kepada peraturan Indonesia,” kata Banjaran.
Ia mengingatkan, jangan sampai dengan adanya pembukaan akses mineral kritis di Indonesia untuk AS, justru Indonesia dirugikan seperti praktik-praktik yang terdahulu pernah terjadi.
Selanjutnya: Dividen Interim Baramulti Suksessarana (BSSR) Rp 127 per saham, Potensi Yield 3,2%
Menarik Dibaca: Dividen Interim Baramulti Suksessarana (BSSR) Rp 127 per saham, Potensi Yield 3,2%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













