CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Makroekonomi Indonesia kuat, dampak tapering off tak sebesar taper tantrum 2013


Kamis, 11 November 2021 / 05:42 WIB
Makroekonomi Indonesia kuat, dampak tapering off tak sebesar taper tantrum 2013
ILUSTRASI. Makroekonomi Indonesia kuat, dampak tapering off The Fed tak akan sebesar taper tantrum 2013


Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) sudah mengumumkan akan mulai mengurangi program pembelian obligasi (tapering off) pada akhir bulan November 2021 ini. 

Lembaga riset Morgan Stanley menyebut, banyak investor yang mempertanyakan dampak tapering off pada pasar keuangan Indonesia. Bahkan, ada ketakutan tapering off pada tahun 2021 ini memberikan dampak seperti taper tantrum pada tahun 2013 silam.

Namun, ekonom Morgan Stanley Asia Limited Deyi Tan meyakinkan, tapering off di tahun 2021 ini tidak akan memberikan dampak seperti taper tantrum sewindu silam. “Dari pandangan kami, tidak akan terjadi taper tantrum jilid kedua (taper tantrum 2.0),” tulis Deyi dalam risetnya, Rabu (10/11). 

Deyi mengatakan ada dua faktor yang mendasari hal ini. Pertama, kecepatan peningkatan suku bunga riil AS yang cukup transparan dan komunikasi The Fed yang cukup terbuka. 

Baca Juga: Indonesia dan Malaysia siap buka perbatasan di tengah pandemi Covid-19

Pada tahun 2013, terdapat miskomunikasi kebijakan yang membuat suku bunga US Treasury tenor 10 tahun naik hingga 150 bps hanya dalam 4 bulan, yaitu dari minus 0,7% menjadi 0,8%.  Sementara pada tahun ini, peningkatan akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi inflasi dan juga kondisi ketenagakerjaan AS.  

Kedua, kondisi stabilitas makroekonomi dalam negeri. Pada 2013 silam, Bank Indonesia (BI) bahkan harus menaikkan suku bunga acuan hingga 175 bos karena dollar AS meningkat yang menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. 

Namun, ini juga didorong oleh inflasi yang sangat tinggi dan juga defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang lebar. 

Pada tahun ini, Morgan Stanley melihat, kondisi makroekonomi Indonesia sudah lebih kuat bila dibandingkan dengan 8 tahun lalu. Tingkat inflasi rendah, pun dengan CAD. Suku bunga ril dan perbedaan suku bunga riil dengan AS relatif tinggi, serta cadangan devisa yang tambun untuk menjadi bantalan pergerakan rupiah. 

Selanjutnya: Berharap ekonomi pulih, Sri Mulyani malah pangkas target penerimaan PPh tahun depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×