Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski fundamental ekonomi sehat dan kerangka kebijakan yang diperkuat, Moody Investors Service melihat Indonesia memiliki risiko kredit akibat depresiasi nilai tukar rupiah. Sebab, pemerintah dan korporasi di Indonesia bergantung pada utang luar negeri (ULN).
Analis Senior Moody's Joy Rankothge menilai, depresiasi rupiah hingga saat ini masih memiliki dampak terbatas terhadap utang. Tapi, depresiasi lebih lanjut bisa berdampak negatif terhadap ekonomi secara luas.
"Depresiasi tambahan dalam rupiah akan mendorong kenaikan utang dan biaya pembayaran utang, memperburuk kerentanan eksternal, dan menambah tekanan inflasi," kata Rankothge yang dikutip Kontan.co.id, Kamis (13/9).
Tak hanya itu, profil kredit korporasi yang lebih lemah dan kualitas aset bank juga dapat mengurangi investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sejak Februari 2018 hingga saat ini, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi lebih dari 9%. Walaupun, tingkat depresiasi tersebut masih lebih rendah dibanding beberapa mata uang lainnya.
Selain depresiasi rupiah, kenaikan suku bunga juga membebani korporasi. Khususnya, melalui kapasitas pembayaran utang korporasi dan kualitas aset bank.
Berdasarkan laporan Moody's, setidaknya ada empat perusahaan yang dinilai rentan terhadap depresiasi rupiah lebih lanjut. Keempatnya, yaitu PT Lippo Karawaci Tbk, PT Alam Sutera Realty Tbk, PT MNC Investama Tbk, dan PT Gajah Tunggal Tbk .
"Sebagian besar utang mereka dalam mata uang dolar, sementara arus kas mereka dalam rupiah," tambahnya.
Selain itu, depresiasi rupiah kemungkinan juga menjadi tantangan beberapa perusahaan infrastruktur. Misalnya, PT PLN yang utangnya sebagian besar dalam mata uang dollar, tetapi pendapatannya sebagian besar dalam bentuk rupiah. "Dalam hal kebutuhan, Moody's mengharapkan bahwa pemerintah Indonesia akan mendukung perusahaan," tambah Moody's.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News