Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Lebih dari 90 persen penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) berujung sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, sebelum bertarung, para calon kepala daerah sudah menyatakan siap kalah dan siap menang.
"Kecenderungan pelaksanaan pilkada itu, lebih dari 90 persen menggugat ke MK. Seolah-olah kalau belum ke MK, proses pilkada belum selesai. Padahal sebelum pemungutan suara pilkada, para calonnya sudah menandatangani pernyataan sikap bahwa siap menang dan siap kalah," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Otda Kemendagri) Djohermansyah Djohan di Jakarta, Senin (18/11/2013).
Penyerahan proses pilkada oleh pihak berperkara ke MK, menurut Djohermansyah, mengakibatkan konflik politik yang terjadi selama penyelenggaraan pilkada berpindah ke lembaga itu. Dengan demikian, tuturnya, potensi praktik politik uang pun ikut pindah ke lembaga konstitusi itu.
Djohermansyah menyebutkan, praktik suap dalam proses sengketa pilkada di MK, antara lain, dugaan suap bagi hakim konstitusi dan memengaruhi pendukung pihak berperkara. "Oleh karenanya menimbulkan keributan seperti yang terjadi beberapa hari lalu di MK (kerusuhan sengketa Pilkada Maluku)," kata birokrat yang akrab disapa Djo itu.
Besarnya potensi politik uang dalam penyelenggaraan pilkada langsung, menurut Djo, mendorong pihaknya untuk mengembalikan penyelenggaraan pilkada kabupaten/kota menjadi pilkada tidak langsung, yaitu dipilih oleh DPRD. Hal itu akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada. (Deytri Robekka Aritonang/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News