Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mengimpor pesawat Boeing dari Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari komitmen penurunan tarif resiprokal menjadi 19% akan membutuhkan nilai belanja tambahan hingga Rp 120 triliun.
Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, angka ini muncul dengan melihat harga rata-rata Boeing 737 MAX dan 787 Dreamliner di pasar global.
Achmad menyebut, harga saat ini berkisar antara US$ 120 juta hingga US$ 150 juta per unit, lebih detail akan tergantung tipe dan konfigurasi.
"Maka pembelian 50 unit (pesawat) akan membutuhkan komitmen belanja sekitar US$ 6 miliar – US$ 7,5 miliar atau setara Rp 96 triliun hingga Rp 120 triliun," ungkap Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Minggu (20/07).
Baca Juga: Pemerintah Bakal Impor Pangan dari Amerika Serikat Sesuai Kebutuhan
Jika dibandingkan, angka belanja ini setara dengan tiga kali lipat belanja modal Kementerian Perhubungan (Kemenhub) 2025 dan nyaris 20% APBN sektor infrastruktur transportasi nasional.
Achmad juga menyoroti kondisi keuangan Garuda Indonesia Grup yang menurutnya masih rapuh, meskipun sudah melalui restrukturisasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Asal tahu saja, impor pesawat dari AS, mayoritas akan digarap oleh Garuda Indonesia Grup.
Sebelumnya, dalam catatan Kontan, Sekretaris Perusahaan Garuda Indonesia, Cahyadi Indrananto mengatakan, penambahan ini termasuk dalam langkah strategis perusahaan dalam pengembangkan armada.
Baca Juga: Pemerintah Bakal Impor Pangan dari Amerika Serikat Sesuai Kebutuhan
"Sebagai bagian dari langkah strategis jangka panjang perusahaan untuk penambahan armada menjadi sekitar 120 pesawat dan optimalisasi jaringan penerbangan hingga 100 rute dalam 5 tahun ke depan," jelasnya saat dikonfirmasi Kontan, Kamis (17/07).
Kembali ke kondisi keuangan Garuda, Achmad bilang, saat ini ekuitas perusahaan masih bisa dibilang negatif. Arus kas operasional pun tipis dan sangat bergantung pada harga avtur, nilai tukar, dan load factor rute-rute utama.
"Utang baru untuk membeli armada ini berpotensi membawa Garuda masuk ke lingkaran setan leverage tinggi, beban bunga besar, dan risiko gagal bayar yang sama seperti sebelum krisis 2020," jelasnya.
Kondisi Garuda saat ini menurut dia seharusnya menuntut strategi kebangkitan yang lebih fundamental.
Baca Juga: Garuda Indonesia Buka Suara Soal Impor Pesawat Boeing dari AS
Seperti dengan mengoptimalkan utilisasi armada yang ada, memperbaiki governance, menata ulang rute-rute profit center, memperkuat aliansi codeshare dan route sharing, serta restrukturisasi model bisnis kargo dan Low Cost Carrier (LCC).
"Ini adalah langkah yang lebih realistis untuk membangun daya saing dan kepercayaan pasar," kata dia.
"Membeli armada jumbo tanpa kesiapan finansial yang kokoh dan governance yang sehat justru dapat menimbulkan krisis baru di masa depan," tutupnya.
Selanjutnya: Usai IPO, Harga 2 Saham Ini Terus Naik Ratusan Persen, Apakah Masih Layak Beli?
Menarik Dibaca: Samsung S25 Ultra Harga Juli 2025 Bawa Fitur AI Assistant, Canggih & Responsif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News