kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.970.000   24.000   1,23%
  • USD/IDR 16.319   -22,00   -0,13%
  • IDX 7.469   124,49   1,70%
  • KOMPAS100 1.044   14,12   1,37%
  • LQ45 790   8,31   1,06%
  • ISSI 251   6,62   2,71%
  • IDX30 409   4,38   1,08%
  • IDXHIDIV20 473   6,01   1,29%
  • IDX80 118   1,61   1,38%
  • IDXV30 122   3,33   2,82%
  • IDXQ30 131   1,50   1,16%

Lagi-lagi Soal Data, Target Kemiskinan Ekstrem 0% Dinilai Sulit Dicapai


Rabu, 23 Juli 2025 / 18:14 WIB
Lagi-lagi Soal Data, Target Kemiskinan Ekstrem 0% Dinilai Sulit Dicapai
ILUSTRASI. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/08/10/2024. Upaya pemerintah untuk mengentaskan angka kemiskinan ekstrem masih menuai tantangan, salah satunya terkait data.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya pemerintah untuk mengentaskan angka kemiskinan ekstrem masih menuai tantangan. Padahal pada akhir 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto menargetkan dalam dua tahun ke depan atau 2025-2026, angka kemiskinan ekstrim bisa mencapai 0% di Tanah Air.

Nyatanya, pada tahun 2026, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 angka kemiskinan ekstrim dibidik 0% hingga batas atas 0,15%. Target batas atas tersebut pun meningkat dari target dalam APBN 2025 sebesar 0%.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, menilai target 0% kemiskinan ekstrem lebih merupakan agenda politik ketimbang cerminan kondisi faktual.

“Kalau untuk data kemiskinan ekstrim, sebetulnya kan tahun 2024 itu jadi angka politik ya. Jadi mustahil di 0% secara realita. Jadi secara statistik dipaksakan untuk nol, tapi secara realita itu nggak mungkin nol,” ujar Media kepada Kontan, Rabu (23/7).

Menurutnya, koreksi target pemerintah dari 0% menjadi rentang 0%–0,5% bukan tanpa alasan. Selain realitas sosial yang kompleks, banyak wilayah kantong kemiskinan ekstrem yang masih sulit dijangkau baik secara geografis maupun secara administratif.

Baca Juga: Target Kemiskinan Ekstrem 0% Sulit Dicapai, Imbas Data Tak Akurat

Sayangnya, kelompok rentan ini kerap tak tercakup dalam data resmi pemerintah. Masalah utamanya terletak pada kualitas data sosial ekonomi yang dinilai masih amburadul.

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga kini belum dapat dijadikan fondasi kebijakan yang presisi. Padahal, pengentasan kemiskinan sangat bergantung pada ketepatan sasaran. Selain itu, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan tidak dievaluasi secara serius mana yang efektif, mana yang tidak. Akibatnya, alokasi anggaran kerap tidak membuahkan hasil maksimal.

“Idealnya program yang sukses mengurangi kemiskinan itu coverage-nya diperbanyak. Dan yang paling efektif mengurangi kemiskinan itu (program keluarga harapan) PKH,” katanya.

Namun, alih-alih diperluas, cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) justru stagnan. Pendamping sosial di lapangan pun dinilai menghadapi keterbatasan akibat efisiensi anggaran, sehingga tidak bisa maksimal dalam mendampingi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.

Media melihat, banyak bansos juga bersifat musiman dan tidak terencana, sehingga tidak menyasar akar persoalan kemiskinan itu sendiri.

Masalah lain muncul dari klaim keberhasilan yang dinilai terlalu berlebihan. Ia mengungkapkan, data versi pemerintah berbeda jauh dari data lembaga internasional seperti Bank Dunia. Menurutnya, perbedaan ini berpotensi menyesatkan dalam merancang kebijakan anggaran ke depan.

“Karena masalahnya banyak kebijakan pemerintah hari ini, pemerintah over claim bahwa mereka bisa melakukan kebijakan A, B, C, D sebut saja misalkan Koperasi Desa Merah Putih, ini belum lagi termasuk beberapa program ambisius lainnya ya yang dikelola oleh pemerintah,” kritik Media.

Ia mengusulkan agar pemerintah segera melakukan audit ulang terhadap data penerima manfaat. Bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer/CCT) dinilai lebih tepat sebagai bantalan ekonomi jangka pendek, sementara dalam jangka panjang perlu diperkuat intervensi berbasis komunitas seperti fasilitator sosial, revitalisasi balai latihan kerja (BLK), dan optimalisasi dana desa.

“Artinya lebih banyak pendampingan yang harus dilakukan, bersamaan dengan itu bantalan sosial dalam bentuk cash itu bisa cukup efektif sebetulnya menjadi bantalan ekonomi masyarakat,” tandansya.

Kemiskinan ekstrem, menurut standar Bank Dunia, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang hidup dengan kurang dari US$ 2,15 per hari, yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (PPP) tahun 2017 mencatat, angka kemiskinan estrem pada 2020 mencapai 1,69%, kemudian meningkat pada 2021 menjadi 1,75%, turun pada 2022 menjadi 1,34%, turun pada 2023 menjadi 1,11%.

Selanjutnya, turun pada Maret 2024 menjadi 0,83%, dan turun pada September 2024 menjadi 0,62%.

Baca Juga: Sasaran Indikator Pembangunan, Target Kemiskinan Ekstrem Naik Jadi 0,5% di RAPBN 2026

Selanjutnya: Okupansi Tembus 90%, Promo Diskon Tiket KAI Laris Manis

Menarik Dibaca: Fitur Lifestyle Hadir di PLN Mobile, Perluas Layanan ke Ranah Hiburan dan Gaya Hidup

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×