Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Edy Can
JAKARTA. Walau masih sebatas rancangan, calon aturan tenaga alih daya atau outsourcing mulai membawa korban. Pabrik sepatu PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat, berhenti beroperasi sejak 18 Oktober 2012.
Penutupan pabrik merek sepatu nan legendaris itu , terpicu oleh pro kontra rencana penerbitan aturan tenaga alih daya. Rupanya, kalangan buruh BATA menuntut perubahan status karyawan kontrak menjadi karyawan tetap.
Nyatanya, manajemen BATA tak memenuhi tuntutan itu. Buruh pun memberontak hingga memblokir akses ke pabrik. Jalaran aksi itu, BATA memilih menutup pabriknya sejak 18 Oktober 2012 hingga saat ini. Bahkan, menurut Fabio Bellini, Direktur PT Sepatu Bata Tbk, BATA akan memperpanjang masa penutupan pabrik hingga 16 Desember 2012 akibat situasinya tak kunjung kondusif.
Buruh dan BATA boleh dibilang sama-sama rugi. Buruh tak bisa bekerja sehingga kehilangan penghasilannya.
Di sisi lain, BATA berpeluang merugi US$ 3 juta akibat penutupan pabriknya. Hingga tiga pekan pasca penutupan pabrik, menurut Bellini, BATA telah merugi US$ 700.000 karena kehilangan penjualan. Kini, ekspor ke sister company di Malaysia pun terhenti. Perusahaan yang mulai memproduksi sepatu di Kalibata, Jakarta sejak tahun 1940 ini baru bersedia membuka kembali pabriknya jika ada jaminan usaha.
Sebagai gambaran, per 30 September 2012, BATA memiliki tenaga kerja tetap maupun kontrak sebanyak 1.023 orang tersebut. Sepatu Bata mematok penjualan tahun 2012 ini sebesar Rp 780 miliar naik dari Rp 678 miliar di 2011.
Menurut Bellini, selain kehilangan potensi penjualan, perusahaan ini juga bakal rugi jika mesin produksi lama tak terpakai. Mesin pun terancam rusak. Padahal, perusahaan ini baru saja menambah mesin dengan biaya US$ 240.000 untuk mengerek kapasitas produksi dari 6 juta pasang menjadi 8 juta pasang per tahun. "Kami baru sempat memakai mesin baru selama dua hari," katanya, kemarin.
Kini, BATA masih mencari upaya untuk keluar dari masalahnya. Belum jelas apa yang akan dilakukan BATA selain memperpanjang masa penutupan pabriknya. "Keluar dari Indonesia bukan pilihan utama, karena perjalanan panjang Bata di sini," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News