Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah memberi sinyal untuk melakukan penundaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Sebelumnya, sinyal penundaan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan kepada awak media, Rabu (27/11).
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai bahwa kenaikan tarif PPN kemungkinan besar akan tetap dilaksanakan, mengingat situasi fiskal yang semakin berat.
Kondisi fiskal yang semakin berat ini tercermin dari perintah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang baru-baru ini mengimbau para K/L untuk memangkas anggaran perjalanan dinas.
Meski penghematan ini kecil lantaran disampaikan di penghujung tahun, menurutnya hal tersebut tetap menunjukkan adanya tekanan fiskal. Indikator lainnya adalah realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2024 yang masih menunjukkan tren penurunan.
Baca Juga: Guyuran Stimulu Sebelum PPN 12% Dinilai Tidak Menjawab Persoalan Ekonomi
Di sisi lain, kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China untuk meminta bantuan dana bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut Wija juga sebagai sinyal kondisi fiskal yang menantang.
"Jika ini pinjaman untuk investasi masih wajar, tetapi ini pinjam dana untuk memberi makan rakyatnya, menurut hemat saya, ini indikasi situasi fiskal yang sangat menantang," ujar Wija kepada Kontan.co.id, Rabu (27/11).
Ia menekankan, jika kenaikan tarif PPN menjadi 12% diberlakukan, kebijakan ini tidak boleh berdiri sendiri. Wija menyarankan agar pemerintah mengimbangi kenaikan dengan langkah-langkah lainnya, mulai dari memajaki sektor underground economy, menindak tegas pengemplang pajak, mengakhiri insentif pajak berlebihan, khususnya di sektor nikel hingga membasmi praktik penyelundupan.
Dari sisi pengeluaran, Wija menilai penting bagi pemerintah untuk memprioritaskan program kerakyatan seperti MBG, Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan sosial, dan subsidi BPJS Kesehatan.
Di sisi lain, penghematan perlu dilakukan dengan mengurangi belanja perjalanan dinas, menunda proyek-proyek infrastruktur yang dinilai tidak strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), serta memangkas belanja alat utama sistem senjata (alutsista).
"Hanya dengan demikian, kebijakan yang ditempuh akan memberikan dampak, dan rakyat merasa diperlakukan secara adil," katanya
Sebelumnya, Juru Bicara Ketua DEN, Jodi Mahardi menjelaskan bahwa kebijakan penerapan PPN 12% di 20255 masih dalam kajian mendalam.
"Menanggapi pemberitaan mengenai kebijakan PPN menjadi 12%, kami perlu menyampaikan bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian mendalam," kata Jodi kepada Kontan.co.id, Rabu (27/11).
Baca Juga: HIPMI Dorong Pemerintah Beri Stimulus ke Masyarakat Sebelum Kerek Tarif PPN 12%
Menurutnya, dalam menghadapi berbagai tantangan global maupun domestik, seperti potensi dampak Presidensi Trump 2.0, pelemahan ekonomi China, serta melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
"Oleh karena itu, berbagai kebijakan ekonomi, termasuk terkait PPN, tengah dikaji secara komprehensif guna memastikan keberlanjutannya sejalan dengan kondisi ekonomi nasional dan global," imbuhnya
Selanjutnya: Mampukah Bitcoin Sentuh Level US$ 100.000 di Sisa Tahun 2024?
Menarik Dibaca: Dukung Kemajuan Sektor Maritim, BKI Optimalisasi Platform MCP
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News