Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonom Senior Faisal Basri meminta pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.
Hal ini dikarenakan penyesuaian tarif tersebut akan menambah beban masyarakat. "Kalau menurut saya wajib lah ditunda," ujar Faisal kepada awak media di Gedung DPR RI, Rabu (10/7).
Faisal menilai, kenaikan tarif PPN memang akan menambah kantong kas negara. Hanya saja, itu bukan satu-satunya jalan pintas untuk mengerek penerimaan. Pasalnya, pemerintah masih bisa mengoptimalkan penerimaan dari jenis pajak lainnya, seperti pajak penghasilan (PPh Badan).
"Karena PPN paling gampang, kalau PPh masih suka nilep-nilep," katanya.
Baca Juga: Penerimaan Perpajakan Mencapai Rp 1.028 Triliun pada Semester I-2024
Di sisi lain, Faisal bilang, insentif fiskal yang selama ini diberikan pemerintah lebih banyak kepada sektor-sektor non produktif. Hal ini dilakukan hanya untuk mengundang investor agar menanamkan modalnya di Indonesia.
"Tax holiday, tax deduction, super tax deduction segala macam gitu-gitu kan malah disubsidi. Mobil listrik, mobil listrik kan Rp 40 juta per mobil (insentif yang diberikan)," kata Faisal.
Sementara PPN yang mengenai seluruh rakyat dinaikkan. "Rasa keadilannya dimana? Demi investasi semua itu makin gelap mata," tegasnya.
Sebagai informasi, meski telah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah masih bisa menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12% dengan pertimbangan tertentu. Merujuk pada Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15%.
"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%," bunyi ayat penjelas dari Pasal 7 ayat (3) aturan tersebut.
Nah, perubahan tarif PPN tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News