Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah menyiapkan belleid turunan atau aturan teknis PP nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Beleid turunan yang tengah disiapkan di antaranya terkait Tim Kajian yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga oseanografi, perguruan tinggi, hingga penggiat lingkungan. Tim Kajian terdiri dari berbagai unsur membuat pengelolaan hasil sedimentasi di laut menjadi lebih ketat dan transparan.
Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengajak pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk ambil bagian dalam tata kelola hasil sedimentasi di laut. Dengan demikian, pelaksanaan kebijakan tersebut dapat diawasi secara bersama-sama.
“Saya ini panglimanya ekologi. Membuat kebijakan tidak boleh ada vested di dalamnya. Kebijakan harus bebas dan benar-benar untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujar Trenggono dalam keterangan resminya, Kamis (8/6).
Baca Juga: Kepulauan Riau Bisa Menjadi Percontohan Tata Kelola Pasir Laut
Trenggono menegaskan penerbitan regulasi pengelolaan hasil sedimentasi di laut akan melindungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman aktivitas pengambilan pasir laut secara ilegal.
“Selama ini, belum ada aturannya, berarti ngambil (pasir laut) bebas dari pantai, dari pulau-pulau. Ini yang kita atur. Dari mana saya bisa tahu seperti itu? Ketika Ditjen PSDKP kita operasi pengawasan. Contoh di Pulau Rupat, hampir habis itu pulau-nya disedotin pasirnya. Kemudian di Pulau Bawah, banyaklah di daerah Batam dan sebagainya. Itu kita setop dan kita segel,” jelas Trenggono.
Menurutnya, penggunaan pasir laut untuk kegiatan reklamasi juga menjadi lebih tertata dengan terbitnya PP 26/2023. Ke depan material yang boleh dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan reklamasi adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut yang diambil dari sembarang lokasi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 disebutkan, hasil sedimentasi di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.
Baca Juga: Mengurai Kisruh Ekspor Pasir Laut Bertameng Pembersihan Sedimentasi Laut
Hasil sedimentasi yang dapat dimanfaatkan bisa berupa lumpur maupun pasir laut.
"Karena reklamasi membutuhkan pasir laut, sekarang diatur, seluruh reklamasi yang izinnya kita setujui, reklamasinya harus dari sedimentasi. Tetapi juga hasil sedimentasi itu banyak sekali kandungannya, ada lumpur, ada pasir, atau material yang lain," tambahnya.
Hasil sedimentasi jika dibiarkan, menurut Trenggono bisa mengganggu kelestarian ekosistem laut. Untuk itu, kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi yang terdiri dari perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan sesuai PP 26/2023 penting dilakukan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem serta membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara.
“Indonesia itu dapat bonus geografi. Indonesia itu tempat putaran arus. Yang secara peristiwa oseanografi itu material di dalamnya, bisa berupa lumpur, pasir itu ngumpul. Satu dia nutupi alur pelayaran, kedua dia nutupi terumbu karang, padang lamun, tentu ini tidak sehat dong lautnya kalau kaya gini,” kata Trenggono.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan, aturan turunan PP 26/2023 tengah disiapkan. Peraturan menteri dan/atau aturan sejenisnya akan diproses agar implementasi PP dapat segera dilaksanakan.
“Mudah-mudahan kalau bisa kita selesaikan (tahun ini),” ujar Victor.
Baca Juga: Genjot Investasi Daerah, Kadin dan Apkasi Kembangkan Pusat Promosi Investasi Terpadu
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Yohanis Fransiskus Lema menilai proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tidak transparan dan minim partisipasi publik. Oleh karena itu, ia meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dan ekspor pasir laut.
Fransiskus menilai, proses penyusunan PP yang telah berlangsung selama dua tahun itu minim partisipasi publik. Terlebih sebagai mitra pemerintah, DPR juga tidak pernah diajak diskusi, bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik.
Padahal, seharusnya produk perundang-undangan disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat.
“DPR RI akan memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan dan motif dari terbitnya PP tersebut. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan diajak diskusi tentang aturan ini. Proses pembuatannya tertutup dari publik. Kami baru tahu setelah PP ini keluar,” kata Fransiskus dikutip dari website dpr.go.id, Kamis (8/6).
Sebagai informasi, aturan turunan yang akan dibuat KKP untuk menindaklanjuti terbitnya PP 26/2023 di antaranya terkait tim kajian; keputusan menteri tentang harga patokan pasir laut; peraturan menteri tentang tata cara penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan pasir laut.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Singapura
Berikutnya, peraturan menteri tentang laporan realisasi volume pengangkutan dan penempatan pasir laut; peraturan menteri tentang pemanfaatan pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Kemudian, keputusan menteri tentang tim uji tuntas. Adapun tim uji tuntas yang akan bertugas untuk melakukan verifikasi dan evaluasi proposal dan rencana kerja yang diajukan pelaku usaha untuk pemanfaatan pasir laut.
Lalu, peraturan menteri tentang pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pemanfaatan pasir laut; peraturan menteri tentang tata cara pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Serta, peraturan menteri tentang tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pelanggar PP 26/2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News