Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Salah satu poin penting dalam RUU tersebut yakni kewenangan pengawasan perbankan yang dilimpahkan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada BI.
Dalam pembahasannya, ada sejumlah catatan dari Anggota Baleg DPR. Salah satunya, Andreas Eddy Susetyo mengatakan pihaknya membutuhkan waktu untuk membahas lebih lanjut soal RUU BI.
Baca Juga: Revisi UU BI pangkas independensi bank sentral, inilah draf lengkap versi Baleg DPR
Menurutnya, baik legislatif, BI, OJK, maupun pemerintah harus berhati-hati membahas payung hukum, terutama mempertimbangkan track record BI sebagai bank sentral.
“Dari Baleg kami harus hati-hati karena kami punya banyak pengalaman mengenai masalah independensi BI ini. Kita pernah alami krisis 1997-1998, kemudian juga kejadian saat 2008,” kata Andreas yang merupakan kader PDI-P dalam Rapat Kerja RUU BI, Senin (31/8).
Andreas mengimbau, Baleg, BI, dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan segera melengkapi RUU BI dengan naskah akademi. Dalam naskah akademik itu, kata Andreas perlu ada sinkronisasi dengan UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penjaga Sistem Keuangan.
Oleh sebabnya, mengatur kewenangan kelembangaan OJK, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Dalam situasi darurat ini koordinasi moneter ,fiskal dan rill harus tetap jalan, baik itu intinya ini yang mungkin kita perlu cermati untuk itu maka kami perlu sempurnakan draf terutama masukan,” ujar dia.
Baca Juga: BI sebut ada tiga fitur utama yang diterapkan dalam skema LCS
Sementara itu, Anggota Baleg Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Ali Tahir menilai RUU BI akan menimbulkan ketidakharmonisan pelaksanaan keuangan moneter. “Saya terus terang kaget kok OJK terbang tinggi terus langsung mati mesin ini,” kata dia.