kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Kenaikan subsidi tak menjadi sentimen negatif untuk pasar


Selasa, 13 Maret 2018 / 05:10 WIB
Kenaikan subsidi tak menjadi sentimen negatif untuk pasar


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menaikkan subsidi terutama untuk bahan bakar jenis solar menjadi Rp 1.000 per liter, atau naik dari yang ditentukan di APBN 2018 senilai Rp 500 per liter. Adapun total subsidi untuk solar diperkirakan mencapai Rp4,1 triliun.

Kepala Riset BNI Sekuritas Norico Gaman menilai, hal itu tidak sepenuhnya menjadi sentimen negatif di pasar. Pasalnya, pasar juga memahami alasan di balik kenaikan subsidi itu.

Alasan pemerintah menaikkan subsidi adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Justru dengan tidak dinaikkannya subsidi, efek domino akan muncul.

Jika tidak ada kenaikan subsidi, bukan hanya soal daya beli, harga barang akan meninggi karena harga minyak dunia yang meningkat. Akibatnya, inflasi naik. Naiknya inflasi mendorong tingkat suku bunga acuan naik. "Hal ini justru akan menghambat ekspansi perusahaan," ujar Norico kepada KONTAN, Senin (12/3).

Memang, kenaikan subsidi itu kontradiktif dengan alasan di balik dinaikkannya rating Indonesia oleh sejumlah lembaga pemeringkat beberapa waktu lalu. Dulu, rating Indonesia dinaikkan karena pengalihan dana subsidi untuk mendanai proyek infrastruktur.

Tapi, lembaga pemeringkat itu juga tidak akan gegabah langsung menurunkan rating karena memiliki pandangan yang juga hampir sama dengan pasar.

Lembaga pemeringkat masih akan menunggu efek kenaikan subsidi itu yang seharusnya memang akan positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi karena momentum pertumbuhan itu juga sudah ada untuk saat ini.

Efek kenaikan subsidi akan terasa sekitar tiga hingga enam bulan. Apalagi, tidak lama lagi akan memasuki momen Lebaran. Daya beli akan meninggi di momen ini. Momentum ini yang akan dijaga oleh pemerintah.

Lagi pula, kenaikan subsidi juga tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, kenaikan subsidi juga dilakukan di tengah meningkatnya pemasukan negara dari sektor migas akibat naiknya harga komoditas minyak dunia.

Kalau pemerintah berani subsidi, berarti memang ada surplus. Jadi, ada semacam keuntungan dari surplus itu yang dialokasikan untuk subsidi. Sehingga, kenaikan subsidi itu nanti tidak terlalu membebani APBN.

Pemerintah juga pasti memiliki basis perhitungan sendiri supaya kenaikan subsidi itu tidak membebani APBN. "Namun, menurut saya, level harga minyak dunia US$ 80 per barel sudah menjadi lampu kuning. Artinya, subsidi harus mulai dikurangi jika sudah menyentuh level ini," jelas Norico.

Subsidi perlu dikurangi supaya APBN tidak terbebani. Subsidi harus dikurangi jika ingin pendanaan proyek infrastruktur tidak terganggu.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan subsidi juga bukan hanya mempertimbangkan nilai ekonomis, tapi juga politis. Pemerintah saat ini ingin menjaga stabilitas sosial berhubung tahun ini memasuki tahun politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×