Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR menggelar lagi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan yang sempat ditolak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pembahasannya, DPR mengundang Dirjen Bea Cukai, KPPU, perwakilan dari Kadin, dan pengamat perpajakan.
Dalam draf RUU itu sendiri, pada Bab V tentang distribusi tata niaga Pasal 26 menyebutkan bahwa pelaku usaha yang memasukkan atau mengimpor tembakau berupa lembaran daun tembakau, gagang tembakau, sobekan daun yang sudah dipisahkan dari gagangnya baik menggunakan mesin atau tangan/atau rajangan belum siap pakai dan rajangan setengah jadi dikenakan bea masuk paling sedikit 60%.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pengenaan bea masuk 60% tidak akan efektif karena tidak berlaku bagi negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
“Hal ini karena ada asas lex spesialis dalam perjanjian bebas Indonesia. Untuk tembakau ada rambu dari WTO, bahwa jenis tembakau itu ada tarif 0-40% maksimal. Sekarang tarif yang berlaku di Indonesia bervariasi 5-40%. Bagaimana mungkin RUU ini mengusulkan tarif bea masuk 60% impor tarif tembakau?” kata Yustinus di Gedung DPR RI, Rabu (24/1).
Yustinus melanjutkan, bila hal ini dipaksakan, akan ada risiko yang bakal terjadi. Sebab, eksportir terbesar tembakau adalah China dan India yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
“Kalau ini dilakukan, sebenarnya kebijakan proteksi tadi akan menguntungkan China dan India, karena tidak terpengaruh tarif. AS, Turki, dan Brazil mungkin terdampak, sehingga bisa melakukan ekspor lewat negara-negara yang punya perjanjian tarif dengan Indonesia. Jadi kalau kita melakukan retaliasi, kita akan diserang AS, Turki, dan Brazil, ini apa kita secara neraca siap?” jelasnya.
Ia menyebutkan, China dan Turki menerapkan kebijakan kuota dan tarif bea masuk cukup tinggi, tetapi di negara tersebut produktivitasnya tinggi sehingga tak perlu khawatir dengan produk luar.
Sementara itu, AS punya kebijakan berbeda-beda untuk setiap jenis tembakau. Adapun Jepang dan Uzbekistan lebih terlihat monopoli, bahkan tidak punya bea masuk atas impor tembakau. “Bahkan negara lain terutama yang kebutuhan domestik besar, menerapkan tarif bea masuk rendah,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News