Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus berupaya meningkatkan investasi yang masuk ke dalam negeri. Hal ini tak lain guna menyelamatkan perekonomian dalam negeri dari keterpurukan yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19.
Berbagai langkah telah diambil pemerintah, mulai dari deregulasi untuk meningkatkan taraf kemudahan berusaha hingga beragam insentif fiskal maupun non-fiskal.
Namun, para penanam modal masih menemui banyak kendala, sehingga belum menjadikan Indonesia sebagai destinasi utama bagi investasi seperti yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo.
Menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Hidayat Amir, para investor masih menemui banyak kendala ketika ingin menanamkan investasinya di Indonesia, antara lain saat akan memulai bisnisnya (starting business).
Baca Juga: Mau dapat program pemutihan pajak kendaraan dan gratis balik nama? Ini informasinya
Menurut mereka proses perizinan, termasuk prosedur, biaya dan waktu pengurusannya masih kalah bila dibandingkan dengan negara lain.
Selain komponen starting business, BKF mencatat masih ada komponen ease of doing business (EoDB) lain yang juga masih kurang bersaing dengan negara lain. Seperti diketahui, peringkat EoDB merupakan salah satu indikator yang dilihat oleh investor ketika akan masuk ke suatu negara.
Saat ini posisi Indonesia stagnan di peringkat 73 sejak 2018, sehingga perlu ada perbaikan di berbagai komponen EoDB agar peringkat dapat bergerak naik.
“Solusi dari pemerintah selain melakukan perbaikan dari sisi simplifikasi regulasi dan birokrasi atau kebijakan non fiskal, pemerintah juga akan menggunakan instrumen fiskal untuk mendorong realisasi investasi untuk pemulihan ekonomi dari berbagai sektor,” kata Hidayat dalam webinar bertajuk Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi, Senin (9/11) kemarin.
Hidayat mengatakan, seiring perkembangan sektor industri yang fokus pada inovasi dan produk dengan eksternalitas negatif yang lebih rendah pihaknya juga bersiap dan sangat responsif.
“Misalnya insentif produk mobil listrik yang rendah emisi. Aturan ini bisa ditranslasi lewat aturan cukai yang lebih rendah, sesuai prinsipnya membatasi eksternalitas,” ujarnya.