Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Benarkah perekonomian kita sudah masuk dalam perangkap kelompok negara berpenghasilan menengah? Tak ada jawaban lugas, selain beberapa indikasi agak luas dan lentur.
Sejumlah indikator dini sering ditunjukkan, seperti ketimpangan, kemiskinan, dominasi angkatan kerja tidak terampil, serta produktivitas dan daya saing rendah. Kita semua, termasuk pemerintah, mengamininya; dengan kata lain kita paham betul akar permasalahannya. Sayangnya, kita tak pernah sampai pada solusi dan implementasi nyata.
Dinamika perekonomian akhir-akhir ini sebenarnya juga menunjuk pada akar masalah yang sama. Pertama, nilai tukar rupiah, yang pada penutupan minggu lalu hampir Rp 12.200 per dollar AS.
Sejak pengumuman rencana pengurangan program stimulus (tapering) di AS, Mei lalu, pasar kita terus bergejolak. Kini, saat tapering diputuskan dilakukan bertahap per Januari 2014, gejolak tak kunjung reda, bahkan berisiko meningkat. Banyak pihak menilai, sebenarnya nilai fundamen rupiah lebih dekat ke angka Rp 11.000, tetapi faktanya melewati Rp 12.000.
Kedua, sudah sejak April 2012, neraca perdagangan kita lebih sering defisit. Selama 20 bulan, hanya lima kali terjadi surplus perdagangan yang relatif kecil, termasuk Oktober lalu surplus 42,4 juta dollar AS.
Sejak neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan juga tertekan berat. Selama ini, surplus neraca transaksi berjalan sangat mengandalkan neraca barang (ekspor-impor) karena neraca jasa selalu defisit.
Seharusnya, negara sebesar Indonesia mampu bersaing lebih baik di tingkat global dan regional dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dengan lebih baik. Faktanya, kita selalu tertatih-tatih dalam persaingan regional dan global.
Ketiga, salah satu penyumbang terbesar impor kita adalah bahan bakar minyak (BBM). Selain membebani neraca impor, impor BBM juga menekan anggaran akibat subsidi yang meningkat.
Akibat depresiasi rupiah sekitar 25 persen dari awal tahun, beban subsidi BBM bertambah sekitar Rp 50 triliun. Besarannya setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seperti DKI Jakarta.
Jika tidak ada perubahan perilaku (harga dan konsumsi), beberapa tahun ke depan kita akan menjadi negara pengimpor BBM terbesar di dunia. Kita selalu meyakini, tak seharusnya subsidi BBM begitu membebani, tetapi selalu gagal menemukan konsensus penyelesaian mendasar.
Tiga hal itu sudah meyakinkan bahwa kita tengah memasuki perangkap negara berpenghasilan menengah. Ada banyak hal yang seharusnya tidak terjadi, tetapi faktanya persoalan tersebut seakan menjerat kita.
Hari-hari ini kita terperangkap dengan tekanan nilai tukar, masalah neraca perdagangan dan anggaran subsidi BBM. Sinyal kuat, kita tengah memasuki middle-income trap.
Kita ”terperangkap” dalam sejumlah persoalan yang seakan tak ada solusinya. Setiap kali kita meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi, neraca kita tertekan oleh impor bahan baku yang tinggi.
Setiap kali kita menghadapi tekanan pasar, seakan tak ada pilihan selain menaikkan BI Rate. Begitu pula dalam hal strategi industri. Semestinya kita tak lagi mengekspor komoditas primer, tetapi faktanya tak mudah mendorong hilirisasi.
Mestinya kebijakan low cost green car (LCGC) mampu memberikan insentif bagi kebangkitan industri komponen di Tanah Air. Faktanya, selain menambah kemacetan, LCGC juga meningkatkan konsumsi BBM.
Akibat terjebak dalam berbagai hal, kita menjadi bangsa yang seakan tak punya arah kebijakan jelas. Setiap kali muncul kebijakan yang maksudnya baik, implementasinya di lapangan begitu buruk. Kita terjebak dalam begitu banyak masalah rumit yang menghantui perekonomian kita. Dari mana kita mulai mengatasi kerumitan tersebut?
Paling tidak ada dua elemen pokok yang harus ditata. Pertama, elemen terkait kelembagaan. Sebagus apa pun kebijakan teknis, tanpa kelembagaan yang baik hanya akan menimbulkan kontradiksi dan kontroversi.
Faktor penting pada kelembagaan adalah kepemimpinan, koordinasi, dan kompetensi. Tanpa ada tiga unsur tersebut, mustahil bisa membangun kelembagaan yang baik bagi perekonomian kita. Kedua, kebijakan teknis yang memadai dalam menjawab aneka persoalan aktual di berbagai bidang.
Pertama, soal defisit neraca jasa. Sebenarnya ada diskusi tentang perubahan cara penghitungan dari freight on board (FOB) menjadi cost, insurance, and freight (CIF).
Intinya, selama ini kalau kita mengekspor, hanya menaruh barang di pelabuhan. Sementara mitra kita mengurus mulai dari pengapalan dan asuransi.
Kita harus berani memikirkan menggunakan pelaku domestik dalam hal pengapalan dan asuransi. Untuk diketahui, biaya pengapalan dan asuransi menjadi salah satu penyumbang defisit neraca jasa terbesar.
Jika kita bisa mendorong agar pelaku domestik terlibat dalam bisnis pengapalan dan asuransi, akan sangat membantu menyelesaikan defisit neraca jasa.
Kedua, soal defisit perdagangan. Insentif fiskal bisa diarahkan bagi investor yang ingin membangun industri bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.
Tujuannya, kebutuhan bahan baku bisa disediakan di pasar domestik sehingga setiap kali terjadi peningkatan pertumbuhan akibat konsumsi dan investasi tak terlalu membebani neraca impor. Meski masih jauh, kebijakan tersebut bisa menjadi langkah awal membangun industri domestik.
Ketiga, soal defisit anggaran akibat besarnya subsidi BBM. Pemerintah harus berani mengeksekusi kebijakan subsidi tetap, mengalokasikan subsidi setiap liter; jika ada kenaikan harga, konsumen yang harus menanggung.
Tanpa ada keberanian melakukan perubahan mendasar dalam sejumlah kebijakan jangka panjang, kita akan selalu terjebak dalam pilihan sulit.
Di luar segala hal tersebut, faktor paling penting adalah kepemimpinan untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan arah yang jelas dalam jangka panjang. (A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta/Kompas Cetak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News