kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Biar tak terjebak, jangan andalkan komoditas saja


Jumat, 13 Desember 2013 / 07:42 WIB
Biar tak terjebak, jangan andalkan komoditas saja
ILUSTRASI. Subsidi energi berpotensi membengkak jika harga minyak meningkat melebihi asumsi yang ada. . ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.


Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Indonesia berpotensi masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap dan tidak bisa menjadi negara maju. Selain masih terlalu mengandalkan komoditas, Indonesia juga bertumpu di upah buruh murah.

Ekonomi Indonesia terus tumbuh. Jika pada tahun 1980-an Indonesia masih masuk golongan negara sedang berkembang, maka mulai tahun 2000-an, Indonesia menjadi negara kelas menengah.

Merujuk penggolongan negara yang dilakukan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), Indonesia saat ini ada pada posisi lower-middle income. Adapun ADB menggolongkan low income untuk negara berpendapatan per kapita kurang dari US$ 2.000 per tahun.

Sedangkan middle-income terbagi dua, lower-middle income pendapatan per kapita US$ 2.000–US$ 7.250 dan upper-middle income dengan pendapatan US$ 7.250–US$ 11.750. Sedangkan negara golongan high income memiliki pendapatan perkapita lebih dari US$ 11.750. Pendapatan per kapita Indonesia sendiri saat ini US$ 4.250 per tahun.

Selama kurang lebih lima tahun, Indonesia masuk dalam golongan middle income. Hanya saja dalam kurun waktu tersebut, Indonesia sepertinya tidak bisa bergerak naik ke negara high income, seperti telah dilakukan Korea Selatan.

Korea Selatan sukses beralih dari middle income menjadi high income. Nasib berbeda dialami Brasil dan Afrika Selatan yang terjebak dalam middle income trap sehingga hingga kini tidak bisa menjadi negara maju.

Middle income trap adalah kondisi suatu negara yang sudah mampu keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah (low income) menjadi kelompok berpendapatan menengah (middle income), Namun terhenti, dan tidak bisa berkembang menjadi negara berpendapatan tinggi (high income).

Kondisi itu terjadi karena negara tersebut kehilangan daya saing. Dia kalah bersaing dengan negara negara berpendapatan rendah yang memiliki daya saing tinggi karena harga produksinya tetap murah akibat upah buruh rendah. Di satu sisi dia juga kalah saing dengan negara maju yang mengandalkan teknologi tinggi dan inovasi.

Kondisi ini yang ditakutkan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri. Menurut dia, Indonesia harus bergeser dengan mengembangkan inovasi dan teknologi untuk lepas dari jebakan tersebut. Indonesia tidak bisa hanya bertumpu di sektor komoditas dan upah buruh murah.

Indonesia berpotensi masuk middle income trap mengikuti Brasil dan Afrika Selatan. Dua negara itu memiliki potensi besar masuk golongan high income bersama Korea Selatan di tahun 1980-an. Namun karena bergantung pada sektor komoditas, saat harga komoditas merosot pertumbuhan ekonomi mereka juga lesu. Hal yang sama terjadi di Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah dan buruh murah.

"Harus ada inovasi dan teknologi untuk membuatnya memiliki nilai tambah," katanya dalam pembukaan seminar Avoiding The Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and Sustainably di Nusa Dua, Kamis (12/12).

Indonesia, menurut Chatib, tidak bisa bersaing dengan Banglandesh dalam hal upah buruh murah, sehingga harus ada inovasi dari sisi sumber daya manusia. Untuk masuk golongan high income, tidak bisa instan. Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan pengembangan Research and Development (R&D) dengan pemberian insentif tax allowance.

Walau saat ini R&D sudah masuk sebagai pos pengurang pajak, namun pemerintah mengaku masih butuh tambahan agar makin banyak perusahaan yang tertarik melakukan penelitian (R&D).

Hanya saja, tambahan insentif itu sulit terlaksana karena Indonesia tidak mengenal double deduction tax. "Masih dilihat celahnya, kalau perlu mengubah UU Perpajakan," kata Chatib.

Insentif yang lebih banyak bagi R&D akan membantu peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia. Sebab pendidikan dan tenaga kerja Indonesia masih kalah dibanding negara Asia Tenggara lain seperti Filipina.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hidayantomengatakan, jika saat ini Indonesia tetap tidak melakukan apa-apa, maka kemungkinan posisi Indonesia akan kembali turun ke barisan negara ke lower income

Karena itu, kini pemerintah jangan cuma menebar wacana. Perlu kepemimpinan tegas untuk mengangkat Indonesia dari middle income trap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×