Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah resmi membentuk Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada Senin (24/2). Lembaga baru ini akan mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14.715 triliun (kurs Rp 16.350).
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, begitu beroperasi Danantara akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, dengan kelolaan dana yang sangat besar, namun kesempatan berinvestasi di tanah air sangat terbatas.
Wija menyebut, pada tahap awal bisa saja Danantara memutuskan untuk fokus pada pendanaan 20 proyek strategis nasional (PSN) dan upaya memperbaiki kinerja BUMN. Tetapi, Ia menilai, keduanya merupakan investasi dengan horizon jangka panjang yang perlu waktu untuk merealisasikan.
Sejalan dengan itu, Wija juga menilai, Danantara akan kesulitan menemukan alternatif investasi jangka pendeknya, untuk menjaga likuiditas sekaligus tingkat pengembalian investasi
“Apa iya investasi Danantara akan menempatkan dananya pada SBN yang telah memfasilitasi ketergantungan Pemerintah kita terhadap utang? Masa iya, Danantara akan menempatkannya di deposito yang berbunga rendah?,” tutur Wija dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/2).
Baca Juga: Gabung Danantara, Adhi Karya (ADHI) Dukung di Sektor Infrastuktur
Memang, Wija menilai, menanamkan dana di pasar modal nasional merupakan salah satu opsi terbaik. Kendati demikian, permasalahannya adalah kondisi pasar modal di Tanah Air yang dinilai sedang ‘mati suri’.
“Investor lari kepada SBN, alternatif investasi likuid dengan bunga lebih dari 7% dengan risiko yang nyaris nol. Investor lari ke luar negeri karena terlalu dominannya praktik goreng-menggoreng di pasar modal kita. Gorengan buruk bagi kesehatan dan saham gorengan buruk bagi reputasi pasar modal dan negeri kita,” tambahnya.
Semnetara itu, Ia mencatat, total investible equity di pasar modal dalam negeri, hanya mewakili kurang dari 0,2% FTSE Global Equity Index Series (FTSE GEIS). Artinya, investor global hanya merencanakan untuk menempatkan kurang dari 0,2% AUM (Asset Under Management) untuk diinvestasikan di Indonesia.
Nilai tersebut, jauh lebih kecil dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
“Yang lebih mengkhawatirkan, proporsi yang kecil itu justru semakin kecil akibat beberapa emiten besar kita dikeluarkan dari perhitungan indeks FTSE GEIS, akibat dugaan manipulasi harga saham,” jelasnya.
Lebih dari itu, Wija menilai Danantara adalah pemain investasi super besar. Lembaga tersebut dinilai memerlukan lapangan bermain yang luas. Menurutnya, kelahiran Danantara perlu dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki pasar modal di dalam negeri.
Misalnya, perbaikan dari aspek produk, institusi, regulasi dan tata kelola perlu menjadi prioritas. Insentif dan keberpihakan Pemerintah juga sangat ditunggu, untuk mengembalikan pasar modal kita ke era 1990-an, yang mana menjadi pilar penting sektor keuangan.
Baca Juga: Danantara Diresmikan, Prabowo Ingin Kekayaan Nasional Dikelola Lebih Baik
“Lagi-lagi, Danantara bisa saja memilih untuk bermain di luar, tetapi pilihan terbaik adalah tetap bermain di dalam, sambil terus memperbaiki lapangan agar semakin luas, bersih dan nyaman,” tandasnya.
Sebagai informasi, Pembentukan Danantara diklaim sebagai wujud komitmen pemerintah untuk mewujudkan program Asta Cita, yakni membawa perekonomian Indonesia ke level tertinggi lewat investasi berkelanjutan dan inklusif.
Setidaknya, akan ada tujuh BUMN yang tergabung ke Danantara untuk tahap awal. Tujuh BUMN tersebut adalah, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Selain itu, Danantara juga akan konsolidasi dengan Indonesia Investment Authority (INA).
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan, BPI Danantara bukan sekadar badan pengelola investasi, melainkan juga sebagai instrumen pembangunan nasional.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, hadirnya Danantara membuka peluang bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama atau joint venture dengan perusahaan luar negeri.
Menurut Luhut, pembentukan Danantara merupakan langkah strategis Presiden Prabowo Subianto dalam mengelola potensi investasi.
Terkait potensi investasi, Prabowo meminta proyek-proyek yang akan diinvestasikan adalah proyek-proyek yang berdampak tinggi dan menciptakan nilai tambah yang signifikan.
"Gelombang pertama investasi senilai US$ 20 miliar dalam kurang lebih 20 proyek strategis bernilai miliaran dolar," ungkap Prabowo.
Selanjutnya: Reksadana Kembali Unjuk Gigi Pekan Ini, Berikut 5 Terbaiknya
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Besok (26/2) di Jawa Barat Hujan sejak Siang hingga Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News