kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Keengganan Jokowi meneken UU MD3 menuai kritik


Rabu, 21 Februari 2018 / 11:40 WIB
Keengganan Jokowi meneken UU MD3 menuai kritik
ILUSTRASI. Presiden Jokowi


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo enggan menandatangani revisi Undang-Undang MD3 yang telah disetujui bersama antara pemerintah dan DPR.

Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Selasa (20/2). Sikap ini menuai kritik.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, sikap Presiden akan menjadi cerminan buruknya manajemen pemerintahan.

"Patut ditinjau ulang dan Presiden sebaiknya menempuh cara yang lebih tepat dan efektif secara ketatanegaraan dalam merespons desakan publik," kata Bayu dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (21/2).

Ia kemudian mencontohkan kasus yang hampir sama pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat itu, SBY memilih mengeluarkan perppu setelah UU Pilkada diundangkan. Alasannya karena mayoritas publik menolak aturan kepala daerah dipilih DPRD dalam UU tersebut.

"Kami berharap bahwa Presiden mendengar aspirasi mayoritas publik yang menolak beberapa substansi dalam RUU perubahan UU MD3 yang telah disetujui DPR dan Presiden," ujarnya.

"Tetapi, langkah menindaklanjuti aspirasi dan desakan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai koridor konstitusi dan praktik ketatanegaraan Indonesia," lanjut Bayu.

Bayu mengatakan, sikap Presiden yang tidak segera menandatangani UU MD3 justru menghambat publik untuk segera melayangkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena hukum acara MK mensyaratkan hanya UU yang telah disahkan Presiden dan diundangkan yang dapat jadi obyek pengujian di MK," katanya.

Selain itu, lanjut Bayu, tidak menandatangani RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tidak akan berpengaruh secara hukum.

RUU tersebut tetap akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari sejak disetujui dalam paripurna.

"Jika Presiden mau, setelah mengesahkan dan mengundangkan RUU Perubahan UU MD3, dapat menerbitkan perppu yang menghapus pasal-pasal dalam perubahan UU MD3 yang ditolak mayoritas publik," kata Bayu.

Bayu mengatakan, penerbitan perppu itu dijamin Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tafsir putusan MK tahun 2009 atas makna “kegentingan yang memaksa”.  (Moh. Nadlir)

Artikel ini sudah tayang di Kompas.com, berjudul: Tak Mau Teken UU MD3, Jokowi Diminta Contoh SBY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×