kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,96   -11,56   -1.24%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jawaban santai anggota DPR atas reaksi keras pengesahan revisi UU MD3


Rabu, 14 Februari 2018 / 00:02 WIB
Jawaban santai anggota DPR atas reaksi keras pengesahan revisi UU MD3
ILUSTRASI. RAPAT PARIPURNA DPR


Reporter: Agus Triyono | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dilakukan secara matang. Tak terkecuali perihal perumusan pasal soal pengetatan prosedur pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum dan soal pemidanaan para pengkritik DPR.

Firman Subagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR mengatakan, UU juga sudah disusun dengan mempertimbangkan masukan sejumlah pihak. Meski tidak bisa memuaskan semua pihak.

Firman mempersilahkan bagi pihak yang tidak terima bisa mengajukan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Yang pasti, Firman mengklaim pasal perihal pidana bagi perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang mengkritik DPR dan dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya disusun untuk menjaga marwah DPR dan membuat kritik ke DPR lebih konstruktif.

"Di era demokrasi, kritik ke DPR sudah kebablasan, satu, dua anggota DPR yang korupsi, DPR disebut gudang koruptor, itu sudah kebablasan, itu bukan kritik tapi cemooh," katanya kepada Kontan, Selasa (13/2).

Lahirnya revisi UU MD3 mendapatkan kritik. Salah satunya, datang dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM.

Mereka bahkan dalam waktu dekat ini akan menggugat UU hasil revisi tersebut ke MK. Ada dua pasal penting yang akan mereka gugat.

Pertama, Pasal 122 huruf K yang berisi ketentuan pidana bagi perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang mengkritik DPR dan dianggap merendahkan kehirmatan DPR dan anggotanya.

Kedua, Pasal 245 yang berisi ketentuan bahwa untuk memeriksa anggota DPR yang tersangkut masalah hukum, aparat penegak hukum harus izin ke presiden atas rekomendasi Mahkamah Kehormatan Dewan.

Hifdzil Halim, peneliti Pukat mengatakan, keberadaan dua pasal tersebut tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tapi juga membahayakan. Untuk Pasal 245, keberadaan pasal tersebut bisa menghambat upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

"Sementara itu, pasal yang berkaitan dengan kritik, itu bisa mengancam hak masyarakat memberi masukan terhadap penyelenggaraan negara," katanya kepada Kontan.

Hifdzil mengatakan, masih menunggu penomoran undang- undang untuk menggugat dua pasal tersebut. Selain Pukat, perlawanan sama juga akan dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×