kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU MD3 terkesan terburu-buru


Minggu, 18 Februari 2018 / 14:25 WIB
Revisi UU MD3 terkesan terburu-buru
ILUSTRASI. RAPAT PARIPURNA DPR


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah telah sahkan revisi UU 7/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada Senin (12/2). Niat merevisi yang mulanya hanya ingin memasukkan poin soal penambahan kursi pimpinan DPR meluas hingga muncul beberapa pasal yang dinilai memberikan imunitas absolut bagi DPR.

Beberapa di antaranya adalah pasal 73 ayat (3) yang menyatakan setiap orang yang tiga kali berturut-turut tanpa alasan sah dan patut tak memenuhi panggilan DPR, bisa dipaksa dengan bantuan kepolisian. Sementara polisi diperbolehkan melakukan penyanderaan bagi seseorang yang tak penuhi panggilan paling lama 30 hari.

Kemudian pasal 122 (k) di mana Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Adapula, pasal 245 yang menyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius mengatakan, beberapa pasal tersebut baru muncul beberapa hari sebelum rapat paripurna pengesahan revisi UU MD3.

Ia juga menilai proses pengesahan revisi UU MD3 dilakukan terburu-buru dan tak transparan. Terlebih Lucius menganggap keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi revisi UU MD3 sangat minim.

"Kritik kami soal prosesnya, kami melihat apa yang selama ini jadi bahan kritik soal transparansi justru terjadi dalam pembahasan UU MD3," katanya saat diskusi bertajuk Benarkah DPR Tak Mau Dikritik, Sabtu (17/2) di Jakarta.

Ia khusus menyoroti peran MKD yang dalam beberapa pasal tersebut dinilai sangat digdaya. Dalam hal ini, MKD dapat memberikan rekomendasi yang dengan bersifat ketetapan soal pemanggilan anggota DPR yang terkait kasus hukum, hingga berwenang masuk ke ranah hukum, dalam mengusut warga negara yang dianggap mencederai kehormatan DPR.

"Harusnya penguatan MKD dapat dilakukan dengan menambah keterlibatan masyarakat bukan dengan memperluas kuasa seperti itu. Karena mereka sendiri kerap mandul memberikan teguran ke anggotanya yang tersangkut masalah korupsi. Ya mau bagaimana, mereka juga anggota DPR, kan?" jelasnya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani sependapat dengan Lucius. Asal tahu, Fraksi PPP bersama Fraksi Nasdem merupakan dua fraksi yang walk out dalam pengesahan revisi UU MD3. Terakhir DPP PKS menyatakan menolak revisi tersebut meskipun Fraksi PKS ikut pula mengesahkan revisi UU MD3 namun disebut sebagai kesalahan komunikasi.

"Kami (Fraksi PPP) sudah menyampaikan agar perumusan tiga pasal tersebut setidaknya masih butuh satu masa sidang sejak Maret hingga April," kata Arsul dalam kesempatan yang sama.

Arsul menambahkan, niat awal revisi soal penambahan kursi pimpinan DPR meluas lantaran memang dibutuhkan revisi UU MD3 secara menyeluruh. Ia menyontohkan soal keberadaan DPRD yang turut pula diatur dalam UU MD3. Padahal, payung hukum DPRD juga telah termaktub dalam UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah.

Meski demikian, kembali ia menegaskan bahwa pembahasan revisi butuh waktu panjang. "Fraksi PPP setuju membahas UU MD3 secara menyeluruh, tetapi tentu hal tersebut membutuhkan pendalaman, pelibatan masyarakat, dan menerima saran dari ahli hukum tata negara, studi banding ke negara lain," lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×