kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kecewa penanganan Covid-19, warganet melambungkan tagar #TerserahIndonesia


Senin, 18 Mei 2020 / 12:46 WIB
Kecewa penanganan Covid-19, warganet melambungkan tagar #TerserahIndonesia
ILUSTRASI. Petugas menunjukkan hasil negatif pada alat pemeriksaan cepat (rapid test) COVID-19 usai memeriksa salah satu pedagang di kawasan Relokasi Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/5/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/nz


Reporter: Agung Hidayat, Pratama Guitarra, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro

Juru Bicara Pemerintah untuk Percepatan Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menegaskan, pihaknya tak merelaksasi kebijakan PSBB. Namun, sejumlah kebijakan terbaru pemerintah justru berkata sebaliknya.

Yang terbaru, misalnya, datang dari Kementerian BUMN. Menteri BUMN Erick Thohir merilis Surat Edaran No S-336/MBU/05/2020 tentang Antisipasi Skenario New Normal BUMN. Salah satu isinya, mewajibkan pegawai berusia di bawah 45 tahun masuk kerja, terhitung sejak 25 Mei 2020.

Sejatinya, aturan relaksasi itu bertabrakan dengan kebijakan pemerintah daerah yang masih memperpanjang masa PSBB. Semisal, Kota Bogor dan Bekasi yang memperpanjang PSBB hingga 26 Mei. Apalagi, BNPB masih menetapkan darurat bencana akibat korona hingga 29 Mei.

Baca Juga: Jokowi minta penyaluran sembako tahap ketiga di Jabodetabek dipercepat

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban berharap, pemerintah tak terburu-buru melonggarkan PSBB, dan seharusnya mempercepat tes masal hingga 50.000 per hari. "Tanpa upaya itu bisa memunculkan gelombang kedua penularan. Dikhawatirkan rumah sakit tak bisa menampung pasien," kata dia, kemarin.

Selain bertabrakan, relaksasi itu menimbulkan kecemburuan bagi swasta. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengkritisi, dengan PSBB saat ini, pemerintah pun tak punya stimulus tepat untuk membantu masyarakat. "Relaksasi memang berisiko tinggi. Tapi apakah ada pilihan lain? Pemerintah saja tak ada uangnya juga," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×