Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar baik datang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah berencana memperpanjang pemberlakuan tarif pajak penghasilan (PPh) final 0,5% tanpa batas waktu.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut akan berlaku baik untuk UMKM orang pribadi maupun perseroan perorangan.
“Saat ini pemerintah sedang dalam proses merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, antara lain mengatur PPh final 0,5% diberlakukan tanpa batas waktu,” ujar Susi kepada KONTAN, Minggu (2/11/2025).
Selain itu, revisi PP tersebut juga akan memperpanjang masa pemberlakuan tarif PPh final 0,5% bagi UMKM koperasi hingga tahun pajak 2029.
Baca Juga: Ketegangan Memuncak di Shopee Jagoan UMKM Naik Kelas! Siapa yang Akan Bertahan?
Sebagai catatan, PP 55/2022 merupakan revisi dari PP 23/2018 yang mengatur jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5%.
Berdasarkan Pasal 59, tarif ini sebelumnya dibatasi dengan tiga skema waktu: tujuh tahun untuk wajib pajak orang pribadi, empat tahun untuk badan usaha seperti koperasi, CV, firma, BUMDes atau perseroan perorangan, dan tiga tahun untuk wajib pajak berbentuk perseroan terbatas (PT).
Bagi wajib pajak yang terdaftar sebelum PP 23/2018 berlaku, masa pengenaan tarif tersebut dihitung sejak 2018 dan kini telah berakhir. Karena itu, revisi baru ini akan memperpanjang sekaligus menghapus batas waktu bagi UMKM tertentu.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, menilai kebijakan ini mencerminkan arah reformasi fiskal yang lebih inklusif dan pro pertumbuhan.
Menurutnya, pendekatan pajak berbasis omzet lebih sederhana dan efisien secara administrasi.
Baca Juga: 1.300 UMKM Adu Inovasi dan Kreativitas di Kompetisi ‘Shopee Jagoan UMKM Naik Kelas’
“Pendekatan tersebut dapat memperluas basis wajib pajak, mendorong formalisasi usaha, serta meningkatkan daya beli dan sirkulasi ekonomi di sektor akar rumput yang menjadi penopang utama konsumsi domestik,” ujar Rizal.
Namun, ia mengingatkan adanya risiko struktural yang perlu diwaspadai. Skema pajak berbasis omzet, katanya, bersifat regresif dan berpotensi membuat pelaku usaha enggan memperbesar skala usahanya agar tetap menikmati tarif rendah.
“Fenomena ini bisa memunculkan fragmentasi usaha dan menekan semangat naik kelas. Dari sisi fiskal, potensi penerimaan pajak jangka panjang juga bisa berkurang jika tidak disertai evaluasi dan pengawasan yang ketat,” jelas Rizal.


 
 
 
 
 
 










