kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan rasionalisi pajak daerah berpotensi memicu terjadinya shortfall


Senin, 23 Desember 2019 / 15:49 WIB
Kebijakan rasionalisi pajak daerah berpotensi memicu terjadinya shortfall
ILUSTRASI. Pelayanan pajak di kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Jakarta, Kamis (27/12). Kebijakan rasionalisi pajak daerah berpotensi memicu terjadinya shortfall.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah dipastikan masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu poin PDRD yang akan dirancang dalam Omnibus Law Perpajakan yakni  rasionalisasi pajak di mana pemerintah pusat bisa menetapkan pajak daerah berlaku secara nasional.

Baca Juga: Ribuan moge di Jakarta nunggak pajak hingga Rp 10 miliar

Selain itu, pusat bisa memberikan sanksi dan membatalkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang menghambat investasi. 

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, untuk melancarkan aturan tersebut, harus ada koordinasi yang optimal ketika pemerintah pusat akan membuat aturan di pajak daerah.Karena kalau kebijakannya tidak tepat, akan menimbulkan shortfall pajak di daerah.

Ajib memberikan contoh pemerintah pusat akan membuat aturan tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau pajak pembeli tanah untuk diturunkan. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang PDRD tarif BPHTB maksimal 5%.

Baca Juga: Airlangga Hartarto optimistis dengan prospek perekonomian Indonesia tahun depan

“Artinya, di sini masih banyak ruang untuk menurunkan tarif, padahal di setiap daerah sementara ini mayoritas menerapkan tarif maksimal sebesar 5%,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Makanya, dengan konsideran untuk kemudahan investasi, maka tarif BPHTB akan diturunkan. Padahal di setiap daerah, BPHTB ini menjadi backbone penerimaan daerah, sekitar 20% PAD.

Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menambahkan sebetulnya pemerintah melalui UU PDRD sudah punya kewenangan untuk mengatur revenue assignment atau jenis-jenis pajak yang boleh dipungut daerah, serta maksimal tarif di tiap daerah.

Baca Juga: Ekonom Bank Mandiri optimistis ekonomi Indonesia tahun 2020 lebih positif

Pengaturan dan batasan atas kedua area tersebut pada intinya bertujuan agar menciptakan kondusivitas iklim investasi daerah sekaligus memberikan ruang kapasitas fiskal daerah.

Menurut Bawono untuk area jenis pajak yang boleh dipungut, selama ini tidak ada masalah di lapangan. Namun, persoalannya lebih terkait pada interpretasi yang seringkali belum konsisten atas beberapa jenis pajak yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian. 

Baca Juga: Realisasi belanja negara baru 83% dari pagu APBN hingga November 2019

“Sedangkan untuk masalah tarif batas atas, pada umumnya tidak dimanfaatkan sebagai instrumen untuk berkompetisi dalam menarik investasi. Tarif yang ditetapkan di daerah umumnya pada angka batas atas yang merujuk pada UU PDRD,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Sementara untuk sanksi dan membatalkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang menghambat investasi, dirinya menilai bahwa perlu ada harmonisasi dengan undang-undang yang berlaku agar tidak menyalahi atau tumpang tindih dengan aturan lama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×